Realita: Terbebas dari Belenggu Autisme..!
Jakarta, Kamis
• “I am the child that looks healthy and fine. I was born with ten fingers and toes. But something is different, somewhere in my mind and what it is, nobody knows.”
Bait awal puisi “The Misunderstood Child” karya Kathy Winters itu dibaca Joshua Ephraim Sianturi dengan suara jelas dan lancar. Seperti anak normal seusianya, sosok bocah lelaki itu tampak sehat-sehat saja. "Anak saya sekarang sudah bagus, tidak menunjukkan ciri-ciri autis lagi, kecuali daya pendengarannya yang masih harus diperbaiki," tutur Debbie R. Sianturi, ibunya.
Lahir Vakum
Perempuan cantik berkulit putih ini dengan penuh semangat berkisah tentang usahanya mendampingi putra keduanya untuk keluar dan kungkungan autisme. Kehadiran Joshua memang agak berbeda. Debbie harus menunggu lima tahun untuk hamil lagi, setelah kelahiran putri sulungnya. Bahkan ia sempat menjalani terapi kesuburan dan hampir mengikuti program bayi tabung, namun kemudian bisa mengandung secara alami.
Selama kehamilan, ada beberapa faktor tidak menguntungkan yang melingkupinya. Ada kondisi yang membuatnya stres berat dan itu berakibat pada kemerosotan kekebalan tubuhnya. Sewaktu tiba kelahiran Joshua, ternyata tidak berlangsung sesuai harapan. Bayi mungil itu lahir melalui proses vakum pada tanggal 25 Agustus 1996, di Sydney, Australia. Kepalanya mengalami trauma. Sayangnya, ia tidak mendapatkan penanganan yang maksimal. Joshua kecil pun lalu sering menangis.
Semasa bayi ia berkali-kali terkena flu, pilek, dan batuk, dan kerap mendapat obat antibiotika. Suatu hari di saat sedang sakit atau sumeng itulah, di usia satu tahun tiga bulan ia menjalani vaksinasi MMR (Mumps-MeaslesRubella). Sejak saat itu perkembangannya berjalan mundur.
Kemampuan bicaranya menurun, hingga akhirnya ia tak lagi berkata-kata, Padahal, sebelumnya ia sudah pintar melafalkan “mama, papa," dan beberapa kata lain. Ia menghindari kontak mata, cara jalannya berubah menjadi jinjit. Jingle atau musik di televisi bisa dengan mudah menarik pendengarannya, tapi bila dipanggil ia sama sekali tak mau menengok. Joshua jadi benar-benar cuek dan asyik dengan dunianya sendiri.
Segera Bertindak
• Hati orangtua mana yang tidak menderita ketika melihat buah cintanya didera gangguan yang tampaknya tiada henti itu.
Debbie pun mengaku sangat tenpukul saat dokter mengatakan Joshua yang saat itu berusia satu tahun sepuluh bulan, mengidap autisme.
"Saya tidak tahu apa-apa, tapi juga tak bisa membiarkan din merasa tertekan berkepanjangan," tutur alumnus FE-UI Jakarta ini.
Perempuan dari keluarga yang kental dalam menjalankan perintah agama ini lalu tenggelam dalam doa. Ia melakukan introspeksi dan minta pertolongan Tuhan. Dengan segera ia juga bertindak mencari terapi medis dan menggali berbagai informasi menyangkut autisme.
"Kami sebagai orangtuanya memang sangat aktif karena tanggung jawab terbesar ada di pundak kami," kata istri Batara Sianturi ini.
Sayangnya, mencani ahli terapis untuk anak autis di masa itu sangat sulit. Kalaupun ada, dokter lebih mengaitkannya dengan masalah kejiwaan, sehingga obat yang diberikan pun berupa obat-obatan psikiatrik. "Padahal, yang dibutuhkan anak autis adalab terapi berupa intervensi dan perawatan medis serta nonmedis yang komprehensif, integratif, dan holistik," tambahnya.
Namun, tanpa putus asa, Debbie dan suaminya mencari alternatif pengobatan hingga ke luar negeri. Akhirnya sejak tahun 1998 berbagai program intervensi bisa dilakukan untuk Joshua. Mulai dan ABA (applied behavioral analysis) yang dirasa sangat efektif, terapi medis, terapi wicara, terapi okupasi, terapi perilaku, terapi fisik, terapi bermain, termasuk juga kraniosakral dan senam otak.
"Supaya bagian mulutnya tidak lemah perlu dilakukan terapi wicara. Ia juga dilatih cara meniup supaya tahu memakai otot-otot mulutnya dan bisa memproduksi suara," ujarnya.
Sehari 50 Kapsul
• Debbie memang berusaha keras memahami berbagai terapi untuk anaknya. Hanya saja, ia tak bisa menyerahkan proses itu sepenuhnya kepada terapisnya.
Sebagai ibu, ia ingin terlibat langsung dan melakukan apa saja yang terbaik untuk putranya. Meski melelahkan, butuh stamina fisik dan mental yang super kuat, ia tak gampang menyerah.
Setiap saat selagi Joshua terjaga ia mesti melakukan interaksi, bermain, dan berbicara, serta.menariknya keluar dan dunia autisnya. Membawanya keluar dari dunianya merupakan perjuangan panjang.
Sebagai contoh, untuk bisa meniup saja Joshua harus berlatih selama empat bulan. Untuk mengenali warna merah mesti diajari dengan sistem tertentu dan dilakukan terus-menerus.
"Istilahnya napas saja nggak sempat," ungkap Debbie. Demi anaknya, ia pun rela meninggalkan karier dan menumpahkan seluruh waktu dan perhatiannya bagi Joshua. Di samping berbagai terapi tadi, si kecil juga harus menjalani diet GFCF (Gluten Free & Casein Free). Semua makanan yang mengandung gandum dan susu sapi harus dihindarinya.
Rupanya obat-obatan antibiotika yang dulu kerap diminumnya telah membunuh bakteri jahat dan bakteri baik yang hidup dalam pencernaannya. Akibatnya, koloni jamur di pencernaan itu merajalela dan merusak ususnya.
Makanan yang tidak sempurna dicerna usus yang banyak berlubang itu kemudian menimbulkan dampak alergi. Itulah mengapa ia perlu mendapatkan penanganan nutrisi.
Satu tahun menjalani diet ini tak juga ada kemajuan yang berarti. Pada diri Joshua bahkan tampak tanda-tanda malnutrisi, tubuhnya lemah dan berat badan menurun. Perkembangan yang menggembirakan baru tampak setelah penanganan nutrisi itu dilengkapi dengan konsumsi vitamin dan suplemen.
Tak kurang dan 50 kapsul suplemen dan vitamin harus dikonsumsi Joshua setiap hari. Sebelum makan, ia mesti minum suplemen enzim pencernaan untuk membantu mencerna makanan, sehingga tidak timbul efek alergi. Hari-harinya mulai penuh dengan jadwal mengonsumsi suplemen dan vitamin.
Acara minum suplemen ini juga penuh perjuangan dan pada awalnya harus melibatkan banyak orang. "Tentu saja dia berontak, jadi harus dipegangi paling tidak oleh lima orang. Tapi, cara ini saya kira jauh lebib baik danpada menggunakan obat antidepresi yang bisa menyebabkan ketergantungan," ucap ibu tiga anak ini.
Mampu Berprestasi
• Lama-kelamaan dia terbiasa dan mau mengonsumsi puluhan suplemen itu tanpa dipaksa. Dan berkat vitamin dan suplemen itu Joshua mencapai kemajuan yang sangat bermakna.
Tubuhnya lebih sehat dan kemampuan bicaranya yang tadinya sepotong-sepotong kini sudah lancar.
Berbagai terapi yang komprehensif, integratif, dan holistik tetap dijalani Joshua dengan tekun. Ia pun masih menjalani terapi kelasi dengan suplemen, untuk membuang timbunan logam-logam berat dan dalam tubuhnya.
Dari pemeriksaan terakhir, secara klinis ia sudah tidak menunjukkan cin-ciri autis, tapi tubuhnya masih memberi respon negatif terhadap vaksin campak. Supaya sistem kekebalan tubuhnya meningkat, dokter menyarankannya untuk menjalani WIG (Intra Venous Immune Globulin).
"Sementara WIG belum bisa dilakukan karena dia harus menyelesaikan terapi kelasi dulu," ujar sang ibu. Perjuangan Debbie dan suami selama hampir lima tahun telah berbuah kebahagiaan. Kemajuan sekecil apa pun yang terjadi, selalu mereka sambut dengan rasa syukur. Apalagi Joshua kini tak jauh beda dengan anak-anak seusianya.
Murid kelas I SD PSDK Mandiri itu senang bermain dengan teman-temannya. Ia sudah bisa bercanda, suka berenang, dan main piano, juga ikut kelompok olabraga basket dan softbol di sekolah. Sewaktu masih bergabung dalam kelompok bermain dan TK, ia termasuk siswa berprestasi dalam kumon matematika.
Seperti anak modern lainnya, Joshua juga senang main komputer. "Tapi, keasyikannya pada komputer dan televisi harus saya batasi, supaya tidak obsesif," ujar Debbie.
Karena sekolahnya menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar, Ia pun kini mulai tekun mendalami kata-kata asing itu. Pantas saja ia bisa membawakan puisi itu dengan baik hingga kalimat terakhir.
For I am the child that needs to be loved.
And accepted and valued too
I am the child that is misunderstood
I am different - but look just like you
Joshua memang lahir dan tumbuh di tengah keluarga yang sangat mengasihinya. Dan apa pun adanya, ia selalu menjadi permata yang berharga dan membanggakan kedua orangtuanya. @ Endang Saptorini
Sumber: http://www2.kompas.com/kesehatan/news/0308/14/140513.htm
Tampilkan postingan dengan label Kasus penderita Autisme. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Kasus penderita Autisme. Tampilkan semua postingan
Selasa, 21 Oktober 2008
Cerita Orang tua mengahadapi Autisme
Dyah Puspita
Terimalah Kenyataan Jika Anak Mengalami Autisme Autisme, atau biasa disebut ASD (Autistic Spectrum Disorder), merupakan gangguan perkembangan fungsi otak yang kompleks dan sangat bervariasi. Biasanya gangguan perkembangan ini meliputi cara berkomunikasi, berinteraksi sosial, dan kemampuan berimajinasi. Karena itu, cara penanganan anak autistik sedikit berbeda dibandingkan dengan cara penanganan anak pada umumnya, khususnya dalam bidang pendidikan. Kebanyakan anak autistik tidak bisa diterima di sekolah umum. Kalau pun bisa, mereka biasanya sulit menerima materi yang diberikan oleh sekolah reguler.
Dyah Puspita adalah salah seorang yang sangat konsisten dan persisten di dalam hal autisme. Alumnus Fakultas Psikologi Universitas Indonesia ini secara khusus mendalami bidang autisme setelah mengetahui putera tercintanya, Ikhsan Priatama Sulaiman, didiagnosa mengalami autisme.
Sejak tahun 2000, Ita – panggilan akrab Dyah - bersama dengan Adriana Ginanjar, mendirikan lembaga Mandiga khusus bagi anak autistik untuk bersekolah. Mandiga bertempat di sebuah rumah di Jalan Mulawarman No 3, Jakarta Selatan. Ini dimaksudkan agar anak-anak yang belajar di sana tidak merasa canggung dan merasa seperti di rumah sendiri. Di halaman tersedia beberapa mainan seperti trampolin dan perosotan. Jadi jika anak-anak sedang tidak ada kelas, mereka boleh bermain dengan bebas.
Materi yang diajarkan di Mandiga bukanlah ilmu eksak seperti yang biasa diajarkan di sekolah reguler. Anak-anak diberikan pengetahuan yang sekiranya perlu bagi mereka dan yang paling penting adalah mengajarkan sifat mandiri bagi anak-anak agar bisa melakukan sesuatu tanpa bantuan orang lain. Salah satu sistem komunikasi yang dipelajari di Mandiga adalah PECS (Picture Exchange Communication System), yaitu komunikasi melalui gambar. Dengan PECS, anak autistik yang mengalami gangguan komunikasi verbal diajari makna dari sebuah gambar yang bisa berarti benda. Jika anak menginginkan sesuatu, ia tinggal memilih gambar yang sesuai untuk mendapatkan keinginannya. Namun, untuk sampai ke taraf pelajaran itu, dibutuhkan syarat-syarat tertentu yang menyangkut perkembangan pemahaman si anak.
Berdasarkan pengalamannya selama 17 tahun sebagai ibunda dari Ikhsan, Ita menuangkan kisahnya ke dalam tulisan. Januari lalu, bukunya yang kedua dengan judul Warna Warni Kehidupan, Ketika Anak Autistik Berkembang Remaja telah terbit. Buku yang hanya bisa didapatkan di Mandiga dan Yayasan Autisma Indonesia itu bahkan telah dicetak dua kali karena banyaknya peminat.
Ita menghabiskan waktu sekitar empat bulan untuk merampungkan naskahnya. Di dalam buku itu tergambar bagaimana ia mendampingi puteranya mengarungi masa remaja ditambah dengan beberapa kisah individu autistik lain di Indonesia. Dalam sela-sela waktu senggangnya, Ita menyempatkan diri untuk melakukan wawancara dengan Tabloid PasarInfo.com mengenai autisme. Ia berbagi banyak hal tentang autisme, pengalamannya menangani anak autistik, dan sistem pengajaran di Mandiga. Berikut adalah petikan wawancaranya:
Apa perbedaan antara sistem pendidikan di Mandiga dengan sekolah reguler?
Anak di sekolah reguler tidak diajari cara berkomunikasi, kalau anak autis harus. Anak sekolah reguler tidak perlu diajari cara gosok gigi, masak, dan berbelanja, kalau anak autis harus. Anak-anak ini, saya bantu agar nanti setelah selesai dari Mandiga pada saat berusia 16 tahun, mereka sudah harus bisa mengurus dirinya sendiri dan bisa mengkomunikasikan kemauannya. Kalau intelejensianya bagus, bisa baca tulis hitung. Syukur-syukur bisa menggunakan komputer. Seperti anak saya Ikhsan, dia sudah bisa baca tulis dan hitung, bisa menggunakan Microsoft Word hingga mem-print, sekarang sudah belajar Excel. Terus saya berpikir, kenapa nanti tidak sekalian belajar internet, Power Point, dan semacamnya. Jadi hal-hal seperti itu yang kita ajarkan.
Berapa usia Ikhsan saat ini?
Akhir Januari lalu, sudah 17 tahun. Sejak Juli dua tahun yang lalu, sudah tidak di Mandiga lagi. Dia masuk sejak Mandiga pertama kali dibuka, yaitu Februari tahun 2000. Waktu itu dia baru 9 tahun. Setelah 16 tahun, di-cut. Cut off-nya memang di usia segitu.
Ada batasan umur untuk belajar di Mandiga?
Betul. Jadi yang belajar di Mandiga itu usia 6 sampai 12 tahun. Setelah itu dievaluasi lagi. Bisa atau tidaknya anak itu mengikuti program lanjutan usia 12 - 16 tahun. Yang boleh ikut program lanjutan adalah anak yang perilakunya tertib, sudah ada komunikasi fungsional meskipun belum bisa bicara, dan secara akademis sudah bisa baca tulis hitung.
Kalau itu belum tercapai juga, umur 12 tahun akan di-cut. Kita harus bisa menerima fakta, bahwa tidak semua anak autis bisa belajar. Sebagian besar bisa dilatih, tetapi untuk mampu belajar tidak semua bisa. Sebenarnya tidak ada kata terlambat. Cuma memang, semakin usianya besar, semakin susah melatihnya.
Kenapa usia 12 menjadi penentu?
Karena setelah usia 12, mereka sudah banyak yang masuk ke masa puber. Kalau ada anak yang memiliki keterbatasan intelektual dan ditambah lagi mereka sudah puber, sementara di Mandiga itu semua gurunya rata-rata perempuan, maka akan sulit untuk melatih mereka. Jadi kami melihat keterbatasan kami untuk memberikan jasa kepada anak-anak dengan keadaan seperti itu.
Prinsip sekolah ini adalah menampung anak-anak yang tidak diterima di sekolah reguler, plus tidak memasang harga tinggi. Karena tidak memasang harga tinggi, otomatis pemasukan terbatas sehingga kami tidak bisa menambah guru lebih banyak lagi.
Ada perubahan perilaku saat memasuki masa puber?
Sangat. Terutama kalau anak itu tidak mampu bernalar dan tidak bisa berkomunikasi, maka anak itu akan lebih sering marah dan mengamuk. Dan yang menyulitkan, karena anak sudah besar, jadi akan susah untuk memegangnya.
Jadi sebisa mungkin seorang anak autis harus dilatih emosinya dari usia dini?
Kalau menurut saya, itu sangat tergantung dari orang tuanya. Kalau orang tuanya mau bekerja sama dengan saya supaya anak ini perilakunya jadi lebih baik, biasanya berhasil. Tetapi kalau orangtuanya lepas tangan dan menyerahkan semuanya kepada kita, biasanya anak itu malah tidak akan mendapatkan apa-apa. Karena di sekolah hanya empat jam, sisanya di rumah. Harusnya latihan lebih banyak di rumah. Tetapi kalau di rumah anak itu dilepaskan kepada pembantu dan apa saja diperbolehkan, yang empat jam di sekolah akan menjadi sia-sia. Saya selalu menekankan kepada guru dan orang tua, saya akan berusaha supaya di sekolah tertib. Di luar sekolah tertib atau tidak, tergantung dari orangtua. Jika orangtua mengambil apa yang saya lakukan dan menerapkannya di rumah, maka di mana-mana anak itu akan tertib. Anak saya, Ikhsan, di mana-mana bisa diberi tahu, karena dari kecil sudah dibiasakan disiplin.
Bentuk disiplinnya seperti apa?
Biasa sebetulnya. Disiplinnya juga berlaku untuk anak sekolah reguler. Aturan itu harus jelas. Misalnya, kalau tidak boleh melakukan ini, anak itu harus menurut. Kalau ia melanggar peraturan tersebut, maka akan ada konsekuensinya.
Apa betul ada pengaruh dari makanan tertentu kepada anak autis?
Tentang makanan, banyak dokter yang mengatakan itu ilmu yang belum terbukti, meskipun di luar negeri sudah banyak penelitiannya. Kalau di sini belum banyak dilakukan peneltian. Mungkin karena autisme itu bukan penyakit dan bukan sesuatu yang mematikan. Jadi prioritas penelitiannya mengantri di belakang flu burung, kanker, dan sebagainya.
Saya selalu menjelaskan kepada orangtua, karena di luar negeri sekian persen dari penelitian menjelaskan bahwa anak autis metabolismenya terganggu, terutama dari asupan tepung terigu, atau apa pun yang mengandung susu dan gula, biasanya saya minta orang tua untuk eksperimen saja. Susu bisa digantikan dengan kalsium dari tablet kalsium murni, jadi tidak masalah. Misalnya anak saya, dia suka biskuit. Saya gantikan dengan macam-macam makanan kering yang tidak mengandung terigu, misalnya rengginang yang terbuat dari tepung beras. Kan sama saja, kriuk-kriuk juga.
Saya memperhatikan, kalau makanan anak autis lebih dijaga, maka kemampuan otaknya akan lebih responsif, lebih fokus, dan lebih tek-tok (timbal balik). Kalau anak itu makan makanan yang racun bagi dia, (tepung terigu, gula, susu, MSG, dan sebagainya) anak itu jadinya seperti morfinis. Karena teori dari penelitian tadi, metabolisme anak autis teganggu. Sehingga tidak semua zat makanan bisa tercerna. Sebagian menembus barrier di otak, efeknya sama seperti morfin. Sekarang kalau setiap hari si anak makan makanan yang berbahaya untuknya, anak akan kesulitan untuk nalar dan memahami instruksi. Kita ajak berbicara pun mungkin dia tidak ngeh.
Sulitkah untuk menjaga makanan mereka?
Perjuangan awal sulit. Sama seperti misalnya pencandu morfinis yang ingin sembuh. Mereka akan mengalami sakaw. Jadi keinginan untuk sembuhnya itu harus dari diri sendiri. Tuhan maha adil, jika anak-anak ini selama 6 bulan kita jaga makanannya, lalu tiba-tiba bocor sedikit, mereka akan merasa bahwa makanan tertentu tidak bagus untuk mereka. Persoalannya, untuk sampai bertahan selama 6 bulan, biasanya orang tua akan mengalami kesulitan. Sehingga anak itu tidak sampai merasakan efek negatif jika mengkonsumsi makanan tertentu.
Makanan alternatif untuk mereka seperti apa?
Negara ini gemah ripah loh jenawi. Jika tidak mau nasi, bisa digantikan dengan bihun, kwetiau, jagung, singkong, kentang, dan lain-lain. Itu saja yang divariasikan dalam makanan sehari-harinya.
Apakah anak autis lebih tidak bisa mengontrol emosi?
Kalau masalah emosi bukan bagian dari autisme. Ada tiga masalah utama dari autisme, yaitu gangguan perilaku, gangguan interaksi, dan gangguan komunikasi. Gangguan dalam komunikasi misalnya seperti ini: kamu bisa berbicara, tetapi orang tidak mengerti yang kamu bicarakan. Atau, lebih parah lagi, kamu tidak bisa berbicara. Orang lain tentunya tidak akan mengerti apa yang kamu inginkan. Tidak enak kan rasanya? Cara paling primitif apa? Teriak.
Orangtua harus mencari penyebab kenapa anak teriak, apakah penyebabnya karena jatuh? Atau karena minta sesuatu? Orang tua harus berpikir, kalau anak itu teriak karena minta sesuatu dan diberikan pasti si anak teriak lagi bila menginginkan sesuatu. Lalu bagaimana supaya anak itu tidak teriak jika minta sesuatu? Ajari cara berkomunikasi yang baik.
Komunikasi tidak harus selalu dengan berbicara. Orang tua sering tidak siap dengan kenyataan ini. Jika saya memperlihatkan cara Ikhsan berkomunikasi dengan mengetik, menulis, menunjuk, dan SMS kepada orangtua murid, mereka selalu berkomentar: "Ibu sih tidak memaksa anaknya untuk ngomong." Ya memang tidak bisa berbicara, terus mau bagaimana lagi?
Kita kan tidak tahu apa yang terjadi di dalam pikiran anak-anak itu. Jadi, teriak dan emosinya itu karena apa? Itu yang harus dicari. Tidak semua anak autis seperti itu, tetapi bisa menjadi seperti itu bila dari kecil dibiasakan mendapatkan sesuatu jika ia teriak-teriak.
Jadi masalah utama yang dialami oleh anak autis adalah karena kesulitan untuk berkomunikasi?
Betul. Saya harus mendidik orangtuanya mulai dari nol, karena faham seperti itu belum ada. Bahwa komunikasi itu tidak melulu harus melalui bicara. Biasanya hal pertama yang dilakukan oleh orangtua ketika menyadari anaknya tidak bisa berkomunikasi adalah mengajarinya terapi wicara. Sekarang logikanya begini, anak itu diajari untuk bilang ’bola’ tetapi tidak tahu bola itu yang mana. Kamu diajari bahasa Rusia, bahasa Perancis, tetapi tidak mengerti artinya. Akhirnya tidak akan berguna kan?
Metode komunikasi seperti apa yang diajarkan kepada Ikhsan?
Ikhsan sejak usia tiga tahun sampai 10 tahun diajari terapi wicara, tetapi perkembangannya tidak begitu bagus. Setelah pemahamannya semakin baik, ia saya ajari PECS. sistem komunikasi dari Amerika. Cara komunikasinya adalah dengan tukar menukar gambar. Dia diajari makna bahwa gambar ini bisa berarti benda. Jadi kalau kamu mau benda yang itu, kamu harus mengambil gambar yang sesuai. Kemudian berkembang lagi. Setelah dia paham tulisan, di gambar itu diberi tulisannya. Kemudian gambar itu menjadi semakin kecil, lalu lama-lama hanya tinggal tulisannya saja.
Terkadang tulisannya jelek, dan kalau belajar lagi dari awal sulit. Ikhsan bisa menggunakan keyboard. Lalu saya mengembangkan cara lagi, saya belikan dia organizer kecil, saya ajari mengetik, akhirnya berhasil. Setelah belajar mengetik, tahapannya maju lagi, yaitu dengan SMS. Prinsipnya kan sama, cuma dia harus mengenali cara mencari nama dan dikirim ke siapa. Begitu dia merasa dengan cara itu dia bisa mendapatkan sesuatu, dia merasa hal itu ada gunanya. Sekarang, di rumah dia pakai semua cara.
Semua metode-metode itu diterapkan juga di Mandiga?
Iya. Prinsip saya sederhana. Semua anak adalah tanggung jawab orangtuanya. Jadi saya selalu kasih ide kepada orang tua. Jika kemampuan verbal anaknya terbatas, saya menawarkan agar anaknya diajari organizer atau PECS. Kalau anak itu bisa menggunakannya di sekolah, tinggal mentransfer ke rumah. Kalau orang tua yang mengerti faedahnya, mereka akan minta informasi kepada kami. Di sini kami sangat terbuka. Kami akan terangkan semua cara-caranya, kalau perlu divideokan.
Orangtua biasanya menolak karena takut anaknya tidak bisa berbicara. Hasilnya adalah anaknya marah-marah terus. Akhirnya terpaksa anak itu harus keluar dari sekolah karena kami kewalahan. Jadi semuanya itu bergantung dari orangtua. Saya tidak mau ambil tanggung jawab itu dari mereka.
Jadi perkembangan anak tergantung dari orang tua?
Kalau bisa menerima anak kita mengalami masalah, kita akan mencari solusi dari masalah itu. Masalahnya, orangtua mau menerima atau tidak? Menerima nggak jika anaknya autis? Menerima nggak jika anak autis itu mempunyai masalah komunikasi seumur hidup? Kalau dia punya masalah komunikasi, bantu dong. Ada banyak solusi lain, mulai dari makanan, edukasi, hingga pekerjaan di masa depan. Kalau dari awalnya tidak mau nerima, ya susah.
Biodata:
Nama: Dyah Puspita Asih
Hobi: baca, travelling, menulis, dan menonton.
Blog: dyahpuspita.wordpress.com
Jabatan:
- Penanggung Jawab Pendidikan Sekolah Mandiga
- Aktif di Yayasan Autisma Indonesia
- Aktif bertindak sebagai konsultan pada beberapa tempat terapi dan sekolah di Jakarta, Bandung, Medan, Makasar, dan Pontianak
Sumber: http://www.pasarinfo.com/infotokoh.php?designby=noOneElse+Fbdesign@urmind.com&levelku=penggunan&myIDentity=&Mylog=close&escape=&fortune=&myedisi=836&myid=46
Terimalah Kenyataan Jika Anak Mengalami Autisme Autisme, atau biasa disebut ASD (Autistic Spectrum Disorder), merupakan gangguan perkembangan fungsi otak yang kompleks dan sangat bervariasi. Biasanya gangguan perkembangan ini meliputi cara berkomunikasi, berinteraksi sosial, dan kemampuan berimajinasi. Karena itu, cara penanganan anak autistik sedikit berbeda dibandingkan dengan cara penanganan anak pada umumnya, khususnya dalam bidang pendidikan. Kebanyakan anak autistik tidak bisa diterima di sekolah umum. Kalau pun bisa, mereka biasanya sulit menerima materi yang diberikan oleh sekolah reguler.
Dyah Puspita adalah salah seorang yang sangat konsisten dan persisten di dalam hal autisme. Alumnus Fakultas Psikologi Universitas Indonesia ini secara khusus mendalami bidang autisme setelah mengetahui putera tercintanya, Ikhsan Priatama Sulaiman, didiagnosa mengalami autisme.
Sejak tahun 2000, Ita – panggilan akrab Dyah - bersama dengan Adriana Ginanjar, mendirikan lembaga Mandiga khusus bagi anak autistik untuk bersekolah. Mandiga bertempat di sebuah rumah di Jalan Mulawarman No 3, Jakarta Selatan. Ini dimaksudkan agar anak-anak yang belajar di sana tidak merasa canggung dan merasa seperti di rumah sendiri. Di halaman tersedia beberapa mainan seperti trampolin dan perosotan. Jadi jika anak-anak sedang tidak ada kelas, mereka boleh bermain dengan bebas.
Materi yang diajarkan di Mandiga bukanlah ilmu eksak seperti yang biasa diajarkan di sekolah reguler. Anak-anak diberikan pengetahuan yang sekiranya perlu bagi mereka dan yang paling penting adalah mengajarkan sifat mandiri bagi anak-anak agar bisa melakukan sesuatu tanpa bantuan orang lain. Salah satu sistem komunikasi yang dipelajari di Mandiga adalah PECS (Picture Exchange Communication System), yaitu komunikasi melalui gambar. Dengan PECS, anak autistik yang mengalami gangguan komunikasi verbal diajari makna dari sebuah gambar yang bisa berarti benda. Jika anak menginginkan sesuatu, ia tinggal memilih gambar yang sesuai untuk mendapatkan keinginannya. Namun, untuk sampai ke taraf pelajaran itu, dibutuhkan syarat-syarat tertentu yang menyangkut perkembangan pemahaman si anak.
Berdasarkan pengalamannya selama 17 tahun sebagai ibunda dari Ikhsan, Ita menuangkan kisahnya ke dalam tulisan. Januari lalu, bukunya yang kedua dengan judul Warna Warni Kehidupan, Ketika Anak Autistik Berkembang Remaja telah terbit. Buku yang hanya bisa didapatkan di Mandiga dan Yayasan Autisma Indonesia itu bahkan telah dicetak dua kali karena banyaknya peminat.
Ita menghabiskan waktu sekitar empat bulan untuk merampungkan naskahnya. Di dalam buku itu tergambar bagaimana ia mendampingi puteranya mengarungi masa remaja ditambah dengan beberapa kisah individu autistik lain di Indonesia. Dalam sela-sela waktu senggangnya, Ita menyempatkan diri untuk melakukan wawancara dengan Tabloid PasarInfo.com mengenai autisme. Ia berbagi banyak hal tentang autisme, pengalamannya menangani anak autistik, dan sistem pengajaran di Mandiga. Berikut adalah petikan wawancaranya:
Apa perbedaan antara sistem pendidikan di Mandiga dengan sekolah reguler?
Anak di sekolah reguler tidak diajari cara berkomunikasi, kalau anak autis harus. Anak sekolah reguler tidak perlu diajari cara gosok gigi, masak, dan berbelanja, kalau anak autis harus. Anak-anak ini, saya bantu agar nanti setelah selesai dari Mandiga pada saat berusia 16 tahun, mereka sudah harus bisa mengurus dirinya sendiri dan bisa mengkomunikasikan kemauannya. Kalau intelejensianya bagus, bisa baca tulis hitung. Syukur-syukur bisa menggunakan komputer. Seperti anak saya Ikhsan, dia sudah bisa baca tulis dan hitung, bisa menggunakan Microsoft Word hingga mem-print, sekarang sudah belajar Excel. Terus saya berpikir, kenapa nanti tidak sekalian belajar internet, Power Point, dan semacamnya. Jadi hal-hal seperti itu yang kita ajarkan.
Berapa usia Ikhsan saat ini?
Akhir Januari lalu, sudah 17 tahun. Sejak Juli dua tahun yang lalu, sudah tidak di Mandiga lagi. Dia masuk sejak Mandiga pertama kali dibuka, yaitu Februari tahun 2000. Waktu itu dia baru 9 tahun. Setelah 16 tahun, di-cut. Cut off-nya memang di usia segitu.
Ada batasan umur untuk belajar di Mandiga?
Betul. Jadi yang belajar di Mandiga itu usia 6 sampai 12 tahun. Setelah itu dievaluasi lagi. Bisa atau tidaknya anak itu mengikuti program lanjutan usia 12 - 16 tahun. Yang boleh ikut program lanjutan adalah anak yang perilakunya tertib, sudah ada komunikasi fungsional meskipun belum bisa bicara, dan secara akademis sudah bisa baca tulis hitung.
Kalau itu belum tercapai juga, umur 12 tahun akan di-cut. Kita harus bisa menerima fakta, bahwa tidak semua anak autis bisa belajar. Sebagian besar bisa dilatih, tetapi untuk mampu belajar tidak semua bisa. Sebenarnya tidak ada kata terlambat. Cuma memang, semakin usianya besar, semakin susah melatihnya.
Kenapa usia 12 menjadi penentu?
Karena setelah usia 12, mereka sudah banyak yang masuk ke masa puber. Kalau ada anak yang memiliki keterbatasan intelektual dan ditambah lagi mereka sudah puber, sementara di Mandiga itu semua gurunya rata-rata perempuan, maka akan sulit untuk melatih mereka. Jadi kami melihat keterbatasan kami untuk memberikan jasa kepada anak-anak dengan keadaan seperti itu.
Prinsip sekolah ini adalah menampung anak-anak yang tidak diterima di sekolah reguler, plus tidak memasang harga tinggi. Karena tidak memasang harga tinggi, otomatis pemasukan terbatas sehingga kami tidak bisa menambah guru lebih banyak lagi.
Ada perubahan perilaku saat memasuki masa puber?
Sangat. Terutama kalau anak itu tidak mampu bernalar dan tidak bisa berkomunikasi, maka anak itu akan lebih sering marah dan mengamuk. Dan yang menyulitkan, karena anak sudah besar, jadi akan susah untuk memegangnya.
Jadi sebisa mungkin seorang anak autis harus dilatih emosinya dari usia dini?
Kalau menurut saya, itu sangat tergantung dari orang tuanya. Kalau orang tuanya mau bekerja sama dengan saya supaya anak ini perilakunya jadi lebih baik, biasanya berhasil. Tetapi kalau orangtuanya lepas tangan dan menyerahkan semuanya kepada kita, biasanya anak itu malah tidak akan mendapatkan apa-apa. Karena di sekolah hanya empat jam, sisanya di rumah. Harusnya latihan lebih banyak di rumah. Tetapi kalau di rumah anak itu dilepaskan kepada pembantu dan apa saja diperbolehkan, yang empat jam di sekolah akan menjadi sia-sia. Saya selalu menekankan kepada guru dan orang tua, saya akan berusaha supaya di sekolah tertib. Di luar sekolah tertib atau tidak, tergantung dari orangtua. Jika orangtua mengambil apa yang saya lakukan dan menerapkannya di rumah, maka di mana-mana anak itu akan tertib. Anak saya, Ikhsan, di mana-mana bisa diberi tahu, karena dari kecil sudah dibiasakan disiplin.
Bentuk disiplinnya seperti apa?
Biasa sebetulnya. Disiplinnya juga berlaku untuk anak sekolah reguler. Aturan itu harus jelas. Misalnya, kalau tidak boleh melakukan ini, anak itu harus menurut. Kalau ia melanggar peraturan tersebut, maka akan ada konsekuensinya.
Apa betul ada pengaruh dari makanan tertentu kepada anak autis?
Tentang makanan, banyak dokter yang mengatakan itu ilmu yang belum terbukti, meskipun di luar negeri sudah banyak penelitiannya. Kalau di sini belum banyak dilakukan peneltian. Mungkin karena autisme itu bukan penyakit dan bukan sesuatu yang mematikan. Jadi prioritas penelitiannya mengantri di belakang flu burung, kanker, dan sebagainya.
Saya selalu menjelaskan kepada orangtua, karena di luar negeri sekian persen dari penelitian menjelaskan bahwa anak autis metabolismenya terganggu, terutama dari asupan tepung terigu, atau apa pun yang mengandung susu dan gula, biasanya saya minta orang tua untuk eksperimen saja. Susu bisa digantikan dengan kalsium dari tablet kalsium murni, jadi tidak masalah. Misalnya anak saya, dia suka biskuit. Saya gantikan dengan macam-macam makanan kering yang tidak mengandung terigu, misalnya rengginang yang terbuat dari tepung beras. Kan sama saja, kriuk-kriuk juga.
Saya memperhatikan, kalau makanan anak autis lebih dijaga, maka kemampuan otaknya akan lebih responsif, lebih fokus, dan lebih tek-tok (timbal balik). Kalau anak itu makan makanan yang racun bagi dia, (tepung terigu, gula, susu, MSG, dan sebagainya) anak itu jadinya seperti morfinis. Karena teori dari penelitian tadi, metabolisme anak autis teganggu. Sehingga tidak semua zat makanan bisa tercerna. Sebagian menembus barrier di otak, efeknya sama seperti morfin. Sekarang kalau setiap hari si anak makan makanan yang berbahaya untuknya, anak akan kesulitan untuk nalar dan memahami instruksi. Kita ajak berbicara pun mungkin dia tidak ngeh.
Sulitkah untuk menjaga makanan mereka?
Perjuangan awal sulit. Sama seperti misalnya pencandu morfinis yang ingin sembuh. Mereka akan mengalami sakaw. Jadi keinginan untuk sembuhnya itu harus dari diri sendiri. Tuhan maha adil, jika anak-anak ini selama 6 bulan kita jaga makanannya, lalu tiba-tiba bocor sedikit, mereka akan merasa bahwa makanan tertentu tidak bagus untuk mereka. Persoalannya, untuk sampai bertahan selama 6 bulan, biasanya orang tua akan mengalami kesulitan. Sehingga anak itu tidak sampai merasakan efek negatif jika mengkonsumsi makanan tertentu.
Makanan alternatif untuk mereka seperti apa?
Negara ini gemah ripah loh jenawi. Jika tidak mau nasi, bisa digantikan dengan bihun, kwetiau, jagung, singkong, kentang, dan lain-lain. Itu saja yang divariasikan dalam makanan sehari-harinya.
Apakah anak autis lebih tidak bisa mengontrol emosi?
Kalau masalah emosi bukan bagian dari autisme. Ada tiga masalah utama dari autisme, yaitu gangguan perilaku, gangguan interaksi, dan gangguan komunikasi. Gangguan dalam komunikasi misalnya seperti ini: kamu bisa berbicara, tetapi orang tidak mengerti yang kamu bicarakan. Atau, lebih parah lagi, kamu tidak bisa berbicara. Orang lain tentunya tidak akan mengerti apa yang kamu inginkan. Tidak enak kan rasanya? Cara paling primitif apa? Teriak.
Orangtua harus mencari penyebab kenapa anak teriak, apakah penyebabnya karena jatuh? Atau karena minta sesuatu? Orang tua harus berpikir, kalau anak itu teriak karena minta sesuatu dan diberikan pasti si anak teriak lagi bila menginginkan sesuatu. Lalu bagaimana supaya anak itu tidak teriak jika minta sesuatu? Ajari cara berkomunikasi yang baik.
Komunikasi tidak harus selalu dengan berbicara. Orang tua sering tidak siap dengan kenyataan ini. Jika saya memperlihatkan cara Ikhsan berkomunikasi dengan mengetik, menulis, menunjuk, dan SMS kepada orangtua murid, mereka selalu berkomentar: "Ibu sih tidak memaksa anaknya untuk ngomong." Ya memang tidak bisa berbicara, terus mau bagaimana lagi?
Kita kan tidak tahu apa yang terjadi di dalam pikiran anak-anak itu. Jadi, teriak dan emosinya itu karena apa? Itu yang harus dicari. Tidak semua anak autis seperti itu, tetapi bisa menjadi seperti itu bila dari kecil dibiasakan mendapatkan sesuatu jika ia teriak-teriak.
Jadi masalah utama yang dialami oleh anak autis adalah karena kesulitan untuk berkomunikasi?
Betul. Saya harus mendidik orangtuanya mulai dari nol, karena faham seperti itu belum ada. Bahwa komunikasi itu tidak melulu harus melalui bicara. Biasanya hal pertama yang dilakukan oleh orangtua ketika menyadari anaknya tidak bisa berkomunikasi adalah mengajarinya terapi wicara. Sekarang logikanya begini, anak itu diajari untuk bilang ’bola’ tetapi tidak tahu bola itu yang mana. Kamu diajari bahasa Rusia, bahasa Perancis, tetapi tidak mengerti artinya. Akhirnya tidak akan berguna kan?
Metode komunikasi seperti apa yang diajarkan kepada Ikhsan?
Ikhsan sejak usia tiga tahun sampai 10 tahun diajari terapi wicara, tetapi perkembangannya tidak begitu bagus. Setelah pemahamannya semakin baik, ia saya ajari PECS. sistem komunikasi dari Amerika. Cara komunikasinya adalah dengan tukar menukar gambar. Dia diajari makna bahwa gambar ini bisa berarti benda. Jadi kalau kamu mau benda yang itu, kamu harus mengambil gambar yang sesuai. Kemudian berkembang lagi. Setelah dia paham tulisan, di gambar itu diberi tulisannya. Kemudian gambar itu menjadi semakin kecil, lalu lama-lama hanya tinggal tulisannya saja.
Terkadang tulisannya jelek, dan kalau belajar lagi dari awal sulit. Ikhsan bisa menggunakan keyboard. Lalu saya mengembangkan cara lagi, saya belikan dia organizer kecil, saya ajari mengetik, akhirnya berhasil. Setelah belajar mengetik, tahapannya maju lagi, yaitu dengan SMS. Prinsipnya kan sama, cuma dia harus mengenali cara mencari nama dan dikirim ke siapa. Begitu dia merasa dengan cara itu dia bisa mendapatkan sesuatu, dia merasa hal itu ada gunanya. Sekarang, di rumah dia pakai semua cara.
Semua metode-metode itu diterapkan juga di Mandiga?
Iya. Prinsip saya sederhana. Semua anak adalah tanggung jawab orangtuanya. Jadi saya selalu kasih ide kepada orang tua. Jika kemampuan verbal anaknya terbatas, saya menawarkan agar anaknya diajari organizer atau PECS. Kalau anak itu bisa menggunakannya di sekolah, tinggal mentransfer ke rumah. Kalau orang tua yang mengerti faedahnya, mereka akan minta informasi kepada kami. Di sini kami sangat terbuka. Kami akan terangkan semua cara-caranya, kalau perlu divideokan.
Orangtua biasanya menolak karena takut anaknya tidak bisa berbicara. Hasilnya adalah anaknya marah-marah terus. Akhirnya terpaksa anak itu harus keluar dari sekolah karena kami kewalahan. Jadi semuanya itu bergantung dari orangtua. Saya tidak mau ambil tanggung jawab itu dari mereka.
Jadi perkembangan anak tergantung dari orang tua?
Kalau bisa menerima anak kita mengalami masalah, kita akan mencari solusi dari masalah itu. Masalahnya, orangtua mau menerima atau tidak? Menerima nggak jika anaknya autis? Menerima nggak jika anak autis itu mempunyai masalah komunikasi seumur hidup? Kalau dia punya masalah komunikasi, bantu dong. Ada banyak solusi lain, mulai dari makanan, edukasi, hingga pekerjaan di masa depan. Kalau dari awalnya tidak mau nerima, ya susah.
Biodata:
Nama: Dyah Puspita Asih
Hobi: baca, travelling, menulis, dan menonton.
Blog: dyahpuspita.wordpress.com
Jabatan:
- Penanggung Jawab Pendidikan Sekolah Mandiga
- Aktif di Yayasan Autisma Indonesia
- Aktif bertindak sebagai konsultan pada beberapa tempat terapi dan sekolah di Jakarta, Bandung, Medan, Makasar, dan Pontianak
Sumber: http://www.pasarinfo.com/infotokoh.php?designby=noOneElse+Fbdesign@urmind.com&levelku=penggunan&myIDentity=&Mylog=close&escape=&fortune=&myedisi=836&myid=46
Langganan:
Postingan (Atom)