Selasa, 21 Oktober 2008

cerita penderita Autisme

Realita: Terbebas dari Belenggu Autisme..!
Jakarta, Kamis
• “I am the child that looks healthy and fine. I was born with ten fingers and toes. But something is different, somewhere in my mind and what it is, nobody knows.”
Bait awal puisi “The Misunderstood Child” karya Kathy Winters itu dibaca Joshua Ephraim Sianturi dengan suara jelas dan lancar. Seperti anak normal seusianya, sosok bocah lelaki itu tampak sehat-sehat saja. "Anak saya sekarang sudah bagus, tidak menunjukkan ciri-ciri autis lagi, kecuali daya pendengarannya yang masih harus diperbaiki," tutur Debbie R. Sianturi, ibunya.
Lahir Vakum
Perempuan cantik berkulit putih ini dengan penuh semangat berkisah tentang usahanya mendampingi putra keduanya untuk keluar dan kungkungan autisme. Kehadiran Joshua memang agak berbeda. Debbie harus menunggu lima tahun untuk hamil lagi, setelah kelahiran putri sulungnya. Bahkan ia sempat menjalani terapi kesuburan dan hampir mengikuti program bayi tabung, namun kemudian bisa mengandung secara alami.
Selama kehamilan, ada beberapa faktor tidak menguntungkan yang melingkupinya. Ada kondisi yang membuatnya stres berat dan itu berakibat pada kemerosotan kekebalan tubuhnya. Sewaktu tiba kelahiran Joshua, ternyata tidak berlangsung sesuai harapan. Bayi mungil itu lahir melalui proses vakum pada tanggal 25 Agustus 1996, di Sydney, Australia. Kepalanya mengalami trauma. Sayangnya, ia tidak mendapatkan penanganan yang maksimal. Joshua kecil pun lalu sering menangis.
Semasa bayi ia berkali-kali terkena flu, pilek, dan batuk, dan kerap mendapat obat antibiotika. Suatu hari di saat sedang sakit atau sumeng itulah, di usia satu tahun tiga bulan ia menjalani vaksinasi MMR (Mumps-MeaslesRubella). Sejak saat itu perkembangannya berjalan mundur.
Kemampuan bicaranya menurun, hingga akhirnya ia tak lagi berkata-kata, Padahal, sebelumnya ia sudah pintar melafalkan “mama, papa," dan beberapa kata lain. Ia menghindari kontak mata, cara jalannya berubah menjadi jinjit. Jingle atau musik di televisi bisa dengan mudah menarik pendengarannya, tapi bila dipanggil ia sama sekali tak mau menengok. Joshua jadi benar-benar cuek dan asyik dengan dunianya sendiri.
Segera Bertindak
• Hati orangtua mana yang tidak menderita ketika melihat buah cintanya didera gangguan yang tampaknya tiada henti itu.
Debbie pun mengaku sangat tenpukul saat dokter mengatakan Joshua yang saat itu berusia satu tahun sepuluh bulan, mengidap autisme.
"Saya tidak tahu apa-apa, tapi juga tak bisa membiarkan din merasa tertekan berkepanjangan," tutur alumnus FE-UI Jakarta ini.
Perempuan dari keluarga yang kental dalam menjalankan perintah agama ini lalu tenggelam dalam doa. Ia melakukan introspeksi dan minta pertolongan Tuhan. Dengan segera ia juga bertindak mencari terapi medis dan menggali berbagai informasi menyangkut autisme.
"Kami sebagai orangtuanya memang sangat aktif karena tanggung jawab terbesar ada di pundak kami," kata istri Batara Sianturi ini.
Sayangnya, mencani ahli terapis untuk anak autis di masa itu sangat sulit. Kalaupun ada, dokter lebih mengaitkannya dengan masalah kejiwaan, sehingga obat yang diberikan pun berupa obat-obatan psikiatrik. "Padahal, yang dibutuhkan anak autis adalab terapi berupa intervensi dan perawatan medis serta nonmedis yang komprehensif, integratif, dan holistik," tambahnya.
Namun, tanpa putus asa, Debbie dan suaminya mencari alternatif pengobatan hingga ke luar negeri. Akhirnya sejak tahun 1998 berbagai program intervensi bisa dilakukan untuk Joshua. Mulai dan ABA (applied behavioral analysis) yang dirasa sangat efektif, terapi medis, terapi wicara, terapi okupasi, terapi perilaku, terapi fisik, terapi bermain, termasuk juga kraniosakral dan senam otak.
"Supaya bagian mulutnya tidak lemah perlu dilakukan terapi wicara. Ia juga dilatih cara meniup supaya tahu memakai otot-otot mulutnya dan bisa memproduksi suara," ujarnya.
Sehari 50 Kapsul
• Debbie memang berusaha keras memahami berbagai terapi untuk anaknya. Hanya saja, ia tak bisa menyerahkan proses itu sepenuhnya kepada terapisnya.
Sebagai ibu, ia ingin terlibat langsung dan melakukan apa saja yang terbaik untuk putranya. Meski melelahkan, butuh stamina fisik dan mental yang super kuat, ia tak gampang menyerah.
Setiap saat selagi Joshua terjaga ia mesti melakukan interaksi, bermain, dan berbicara, serta.menariknya keluar dan dunia autisnya. Membawanya keluar dari dunianya merupakan perjuangan panjang.
Sebagai contoh, untuk bisa meniup saja Joshua harus berlatih selama empat bulan. Untuk mengenali warna merah mesti diajari dengan sistem tertentu dan dilakukan terus-menerus.
"Istilahnya napas saja nggak sempat," ungkap Debbie. Demi anaknya, ia pun rela meninggalkan karier dan menumpahkan seluruh waktu dan perhatiannya bagi Joshua. Di samping berbagai terapi tadi, si kecil juga harus menjalani diet GFCF (Gluten Free & Casein Free). Semua makanan yang mengandung gandum dan susu sapi harus dihindarinya.
Rupanya obat-obatan antibiotika yang dulu kerap diminumnya telah membunuh bakteri jahat dan bakteri baik yang hidup dalam pencernaannya. Akibatnya, koloni jamur di pencernaan itu merajalela dan merusak ususnya.
Makanan yang tidak sempurna dicerna usus yang banyak berlubang itu kemudian menimbulkan dampak alergi. Itulah mengapa ia perlu mendapatkan penanganan nutrisi.
Satu tahun menjalani diet ini tak juga ada kemajuan yang berarti. Pada diri Joshua bahkan tampak tanda-tanda malnutrisi, tubuhnya lemah dan berat badan menurun. Perkembangan yang menggembirakan baru tampak setelah penanganan nutrisi itu dilengkapi dengan konsumsi vitamin dan suplemen.
Tak kurang dan 50 kapsul suplemen dan vitamin harus dikonsumsi Joshua setiap hari. Sebelum makan, ia mesti minum suplemen enzim pencernaan untuk membantu mencerna makanan, sehingga tidak timbul efek alergi. Hari-harinya mulai penuh dengan jadwal mengonsumsi suplemen dan vitamin.
Acara minum suplemen ini juga penuh perjuangan dan pada awalnya harus melibatkan banyak orang. "Tentu saja dia berontak, jadi harus dipegangi paling tidak oleh lima orang. Tapi, cara ini saya kira jauh lebib baik danpada menggunakan obat antidepresi yang bisa menyebabkan ketergantungan," ucap ibu tiga anak ini.
Mampu Berprestasi
• Lama-kelamaan dia terbiasa dan mau mengonsumsi puluhan suplemen itu tanpa dipaksa. Dan berkat vitamin dan suplemen itu Joshua mencapai kemajuan yang sangat bermakna.
Tubuhnya lebih sehat dan kemampuan bicaranya yang tadinya sepotong-sepotong kini sudah lancar.
Berbagai terapi yang komprehensif, integratif, dan holistik tetap dijalani Joshua dengan tekun. Ia pun masih menjalani terapi kelasi dengan suplemen, untuk membuang timbunan logam-logam berat dan dalam tubuhnya.
Dari pemeriksaan terakhir, secara klinis ia sudah tidak menunjukkan cin-ciri autis, tapi tubuhnya masih memberi respon negatif terhadap vaksin campak. Supaya sistem kekebalan tubuhnya meningkat, dokter menyarankannya untuk menjalani WIG (Intra Venous Immune Globulin).
"Sementara WIG belum bisa dilakukan karena dia harus menyelesaikan terapi kelasi dulu," ujar sang ibu. Perjuangan Debbie dan suami selama hampir lima tahun telah berbuah kebahagiaan. Kemajuan sekecil apa pun yang terjadi, selalu mereka sambut dengan rasa syukur. Apalagi Joshua kini tak jauh beda dengan anak-anak seusianya.
Murid kelas I SD PSDK Mandiri itu senang bermain dengan teman-temannya. Ia sudah bisa bercanda, suka berenang, dan main piano, juga ikut kelompok olabraga basket dan softbol di sekolah. Sewaktu masih bergabung dalam kelompok bermain dan TK, ia termasuk siswa berprestasi dalam kumon matematika.
Seperti anak modern lainnya, Joshua juga senang main komputer. "Tapi, keasyikannya pada komputer dan televisi harus saya batasi, supaya tidak obsesif," ujar Debbie.
Karena sekolahnya menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar, Ia pun kini mulai tekun mendalami kata-kata asing itu. Pantas saja ia bisa membawakan puisi itu dengan baik hingga kalimat terakhir.
For I am the child that needs to be loved.
And accepted and valued too
I am the child that is misunderstood
I am different - but look just like you
Joshua memang lahir dan tumbuh di tengah keluarga yang sangat mengasihinya. Dan apa pun adanya, ia selalu menjadi permata yang berharga dan membanggakan kedua orangtuanya. @ Endang Saptorini


Sumber: http://www2.kompas.com/kesehatan/news/0308/14/140513.htm

Tidak ada komentar: