Senin, 27 Oktober 2008

Gen Penyebab Autis Ditemukan




Setelah sekian lama dinanti akhirnya para ilmuwan berhasil menemukan gen penyebab autisme setelah melakukan pengamatan terhadap 1200 keluarga yang memiliki riwayat keturunan anak autis.

Sebelum ini banyak spekulasi yang beredar mengenai penyebab autis, baik karena faktor genetik, lingkungan, hingga imunisasi. Namun itu pun tidak bisa menjelaskan faktor spesifik penyebab gangguan autistik pada seorang anak.

Untuk menjawab misteri tersebut, para ilmuwan melakukan riset terhadap 1200 keluarga dengan melibatkan 120 ilmuwan dari 50 lembaga di lebih dari 19 negara. Bisa jadi ini merupakan penelitian terbesar yang pernah dilakukan di dunia.

Seperti dilaporkan dalam jurnal Nature Genetics, penelitian ini berhasil menemukan kromosom 11 dan gen khusus yang bernama neurexin 11 sebagai biang keladi penyebab autis. Sebelumnya para ahli menduga kesalahan dalam cetak biru genetis sebagai penyebab autis.

Di dalam sel manusia, DNA ada di dalam inti sel dan mitokondria. Di dalam inti sel, DNA membentuk untaian kromosom. Setiap sel manusia normal memiliki 46 kromosom yang terdiri dari 22 pasang kromosom somatik dan sepasang kromosom seks.

Neurexin merupakan bagian dari keluarga gen yang membantu komunikasi sel syaraf. Nah, menurut para ilmuwan gen ini memainkan peran penting dalam terjadinya sindrom autis.

Penelitian yang cukup fenomenal ini dimulai sejak tahun 2002 ketika para ilmuwan dari seluruh dunia mengumpulkan hasil penelitian mereka. Penelitian ini kemudian diberi nama Autism Genome Project.

Dalam risetnya, tim peneliti menggunakan teknologi chip gen untuk melihat kesamaan genetik di antara orang-orang autis. Teknologi ini dikembangkan oleh organisasi nirlaba Autism Speak dan departemen kesehatan Amerika Serikat.

Meski menyambut gembira hasil penemuan ini, namun menurut Profesor John Burn dari Institute of Human Genetic di universitas Newcastle, AS, penyebab autis sangat rumit. "Penyebabnya karena interaksi antara beberapa gen, sehingga jika satu gen berhasil ditemukan belum cukup untuk menjawab teka-teka ini. Tapi hasil ini bisa menjadi langkah yang terang untuk pengembangan obat yang spesifik," katanya.

Biro sensus Amerika mendata di tahun 2004 ada 475.000 penyandang autis di Indonesia. Ditengarai, setiap hari, satu dari 150 anak yang lahir menderita autis. Padahal, pada tahun 1970-an anak penyandang autis satu dibanding 10.000 kelahiran.

(sumber: http://www2.kompas.com/ver1/Kesehatan/0702/19/145456.htm)

Rachel Maryam Melek Autis

a
Rachel Maryam
Kamis, 17 Januari 2008 | 14:09 WIB

JAKARTA, KAMIS-Setelah menerima tawaran main sebagai seorang pengidap autis dalam film Perempuan Punya Cerita, aktris Rachel Maryam mengaku jadi melek mengenai seluk-beluk penyakit tersebut.

"Dulu tidak tahu-menahu. Tapi setelah aku banyak observasi dan banyak tanya dengan ahli teraphis dan psikiater, mendatangi sekolah autis ketemu sama anak autis, dan orang tua autis, akhirnya jadi tahu mengenai autis," kata Rachel di Jakarta, Rabu (16/1).

Menurut Rachel, anak penderita autis, tak bisa hidup sendiri. "Ia membutuhkan orang lain menjalani hidupnya. Saya juga jadi tahu ternyata banyak juga di Indonesia, yang hidup dengan autis" ujarnya.

Di film Perempuan Punya Cerita, perempuan beranak satu ini, kedapatan peran sebagai penderita autis. Nasibnya kian tragis, setelah ia diperkosa hingga berbadan dua.

"Aku mainin anak yang mengalami autis non verbal. Dia enggak bisu. Karakternya seru dan belum pernah aku coba. Di sini aku mainin perempuan yang umurnya 5 tahun lebih muda dari umur aku sebenarya," ujar bintang film Eliana Eliana itu.

Meski lumayan sulit memainkan karakter tersebut, toh Rachel mengaku senang ketika tawaran itu datang kepadanya. "Aku termasuk orang yang gampang bosan. Kalau meranin karakter yang sama, rasanya kurang bergairah," katanya.

"Tahun depan ada satu peran lagi yang akan saya mainkan. Karakternya beda banget. Makanya aku sangat bergairah sekali," ujar Rachel. Maksudnya, jadi orag gila? "Pokoknya lihat saja nanti," jawab Rachel.(EH)

Eko Hendrawan Sofyan

(sumber: http://kompas.com/read/xml/2008/01/17/14092847/rachel.maryam.melek.autis)



Tempat Terapi di Jakarta Selatan

Kitty Centre

Pertokoan Bona Indah A2/A10 Jl. Karang Tengah Raya, Jaksel

Ph. 7655129


KYRIAKON

Jl. Kampung Baru VI No. 8 Ulujami, Jaksel

Ph. 9209066


Dwi Gantari Indonesia (Bpk. Marjuki – Ibu Evie Sabir)

Jl. Benda III No. 27-27A Kebayoran, Jaksel

Ph. 7247211


Klinik Sasana Husada

Jl. Kyai Maja 19 (depan RS Pertamina), Jaksel

Ph. 7222410


Yayasan Balita Mandiri

Jl. T.B. Simatupang Raya Plaza III Pondok Indah Blok. E2, Jaksel 12310

Ph. 75900181


Yayasan Pelita Hatiku (Ibu Rumondang)

Jl. Mandar XX Blok. DD 13 No. 37 Sektor 3 Bintaro Jaya, Jaksel

Ph./Fax. 021 – 7357646


Klub Terapi Autirsma (Bpk. Tamtam S.)

Pamulang Permai II Jl. Benda Barat 8A Blok D15 No. 8 Pamulang

Ph. 7405462


Yayasan Permata Hati Ibu

Jl. Gatot Subroto Komplek MBAU Pancoran Jaksel

Ph. 7995121



Pendidikan Dini An-Nur (Ibu Lilis Alis)

Jl. Ibnu Khaldun II No 21 Komplek IAIN Ciputat

Ph. 7418659


Klinik Tumbuh Kembang Anak YAMET

Jl. H. Ismail No. 15B Kompl. Taman Cilandak Jaksel

Ph. 7659839


Yayasan Lazuardi Hayati

Jl. Garuda Ujung No. 35 Griya Cinere

Ph. 7534841-43 Fax. 7534519


WILA KERTIA (Ibu Dewi Semarabhawa)

Jl. Maleo I Blok JA No. 20 Sektor IX Bintaro Jaya , Jaksel

Ph. 7450426


Avanti Treatment Centre

Wisma Bayu Aji, Jl. Gandaria III/44 Jaksel

Ph. 7397616, Ph/Fax. 7397637


Klinik Tumbuh Kmbang Anak “Permata Hati”

Jl. Strada No. 29 (TK & SD Indriyasana) Menteng Dalam Jaksel

Ph. 8354862 Hp. 0817-119725 (Ibu Hana)


Hikmah Autisme Centre (Ibu Kun Ganesti E.)

Jl. Maleo XIII Blok. JC VI No. 5 Sektor 9 Bintaro Jaya

Ph. 7451508 Fax. 7450559


Child Growth & Development Center (Ibu Endang)

Medika Plaza, International Clinic, Kartika Chandra Hotel Lt. 3. Jl. Gatot Subroto Kav. 18-20 Jaksel

Ph. 5251207 Fax. 5210815


Nirmala Nugraha (Bpk. Saragih)

Jl. Bintaro Permai No. I Bintaro Jakarta Selatan

Ph. 73882443, 73690027


Mandiga – Mandiri & Bahagia (Drs. Adriana S. Ginanjar & Dra. Dyah Puspita)

Jl. Erlangga II No. 12 Kebayoran Baru Jakarta Selatan

Ph. 7220178 Fax. 72791364


TLPA “ Pelita Hati” (Ibu Utami Djamaluddin)

Jl. Brawijaya No. 15 Kebayoran Baru Jaksel

Ph/Fax. 72798747

Menkes Janjikan Therapy Center Autis

Sabtu, 26 April 2008 | 13:20 WIB

JAKARTA,SABTU - Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari menjanjikan Therapy Center khusus autis di rumah sakit-rumah sakit pemerintah untuk memfasilitasi terapi gratis bagi para penderita autis yang keluarganya tidak mampu. Hal ini disampaikan Menkes dalam pembukaan rangkaian Expo Peduli Autisme 2008 di Graha Sucofindo, Jakarta, Sabtu (26/4).

Menkes mengatakan, menurut data yang diperolehnya jumlah penderita autis di Indonesia semakin meningkat. Pada tahun 2004 tercatat 475 ribu penderita dan sekarang diperkirakan setiap 1 dari 150 anak yang lahir, menderita autisme "Ini adalah hasil yang mengkhawatirkan. Pemerintah akan menyediakan pelayanan kesehatan bagi autisme yang kurang mampu, mudah-mudahan tahun ini bisa merealisasikan hal tersebut dan dapat membantu keluarga penderita yang tidak mampu," ujar Menkes.

Dalam kesempatan ini, Menkes juga berusaha membesarkan hati para orang tua penderita autis untuk terus bersemangat merawat anak-anaknya yang tergolong berkebutuhan khusus. "Jangan putus asa, jangan kecil hati, saya yakin mereka akan mampu maju dan berkembang, ini akan terjadi kalau bapak atau ibu telaten dan jangan merasa capek, saya yakin mereka akan terus maju," tambah Menkes.

Ketua Yayasan Autisma Indonesia (YAI) Melly Budiman menyesalkan belum adanya survei dan riset untuk penanganan kasus autis di Indonesia. Melly mengaku kesulitan untuk memaparkan data-data yang berkaitan dengan autisme di Indonesia selama mengikuti konferensi internasional.

"Sebenarnya kami sudah merencanakannya sekitar 1-2 tahun lalu namun terkendala masalah dana ketika sampai ke dikti, waktu itu aja budgetnya sampai 1 miliar, jadi sulit," ujar Melly. Oleh karena itu, Melly mengharapkan Menkes mau serius merealisaikan therapy center sebagai solusi dari kebutuhan mendesak akan penanganan anak autis di Indonesia yang mahal dan jumlah penderitanya sendiri yang semakin banyak.


(sumber:

Menkes Buka Expo Peduli Autisme 2008



Sabtu, 26 April 2008 | 12:32 WIB

JAKARTA,SABTU - Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari hari ini, Sabtu (26/4) membuka Expo Peduli Autisme 2008 di Gedung Sucofindo, Jakarta. Rangkaian acara yang akan berlangsung hingga esok hari ini akan berisikan seminar dan pameran barang-barang kebutuhan penyandang autisme.

Ketua Yayasan Autisme Indonesia (YAI) Melly Budiman mengatakan upaya peduli autisme sudah dimulai sejak tahun 1997 dimana dirinya beserta beberapa orang dokter menyadari jumlah anak penderita autis semakin banyak. "Kita juga nggak tahu ya, penderita autisme itu kok semakin banyak, jadi saya yang kebetulan dulu sering ke Amerika karena anak saya sekolah di sana, mencari tahu. Akhirnya diusulkan oleh teman-teman dokter di sana, kenapa nggak bikin yayasan saja," ujar Melly di Jakarta, Sabtu (26/4).

Menurut Melly, berkembangnya upaya ini juga disebabkan adanya persepsi yang buruk dari masyarakat Indonesia terhadap penderita dan keluarga penderita autisme. Ketua Panitia, Stanley Barata mengharapkan upaya peduli autisme ini dapat menggugah kepedulian dan perhatian kepada penyandang autisme, juga memperlengkapi para orang tua dan praktisi dalam menangani anak penderita autis.

"Dengan adanya pemahaman yang baik dalam masyarakat, penyandang autisme dapat diterima dengan baik dan wajar, tidak lagi diolok-olok dan diejek," ujar Stanley. Menkes Siti Fadilah sempat menitikkan air mata ketika salah satu anak perempuan penderita autis bernama Tiara membacakan sebuah puisi yang berceritakan tentang terima kasih seorang anak autis terhadap ayah dan ibunya.

Dalam kesempatan ini Menkes juga menjanjikan therapy center di beberapa rumah sakit untuk keluarga-keluarga penderita autis yang kurang mampu. "Pemerintah akan menyediakan pelayanan kesehatan bagi autisme yang kurang mampu, mudah-mudahan tahun ini bisa merealisasikan hal tersebut dan dapat membantu keluarga penderita yang tidak mampu," tukas Menkes.

Selain pembacaan puisi, dalam pembukaan, Menkes dan para peserta dihibur oleh Osha, salah satu anak autis yang pintar memainkan biola beserta teman-teman band-nya dari SMU Al Azhar Kemang Pratama Bekasi.

sumber:http://kompas.com/read/xml/2008/04/26/12325956/menkes.buka.expo.peduli.autisme.2008.

Peluang Sembuh Penderita Autisme Sudah Terbuka


Jumat, 16 Jul 2004 13:49:57

Pdpersi, Jakarta - Jangan mematok gejala autisme hanya pada kontak mata. banyak orangtua terkecoh dan akhirnya menyesal karena mengabaikan gejala-gejala lain. Kini autisme menyeruak satu di setiap 150 batita.

Istilah autisme berasal dari kata "auto" yang berarti berdiri sendiri. Istilah ini diperkenalkan oleh Leo Kramer pada tahun 1943 karena melihat anak autisme memiliki prilaku aneh, terlihat acuh dengan lingkungan dan cenderung menyendiri seakan-akan hidup dalam dunia yang berbeda. Perilaku aneh yang tergolong gangguan perkembangan berat ini terjadi karena adanya kerusakan saraf dibeberapa bagian otak.

Menurut Dr. Rudy sutadi, SpA, spesialis anak dari Pusat Terapi Kid Autis, kerusakan saraf otak ini muncul karena banyak faktor, termasuk masalah genetik dan faktor lingkungan. Autisme terbagi dua. Disebut autisme klasik manakala kerusakan saraf sudah terdapat sejak lahir, karena sewaktu mengandung, ibu terinfeksi virus, seperti rubella, atau terpapar logam berat berbahaya seperti merkuri dan timbal yang berdampak menagacaukan proses pembentukan sel-sel saraf di otak janin.

Jenis kedua disebut autisme regresif. Muncul saat anak berusia antara 12 sampai 24 bulan. Sebelumnya perkembangan anak relatif normal, namun tiba-tiba saat usia anak meninjak 2 tahun kemampuan anak merosot. Yang tadinya sudah bisa membuat kalimat 2 sampai 3 kata berubah diam dan tidak lagi berbicara. Anak terlihat acuh dan tidak mau melakukan kontak mata. Kesimpulan yang beredar di klangan ahli menyebutkan autisme regresif muncul karena anak terkontaminasi langsung oleh faktir pemicu. Yang paling disorot adalah paparan logam berat terutama merkuri dan timbal dari lingkungan.

Sebuah harapan
Dulu penyandang autisme dianggap tidak punya masa depan, sekarang peluang sembuh terbuka lebar. Anak autisme dikatakan sembuh bila mampu mengikuti sekolah reguler, berkembang dan hidup mandiri di tengah masyarakat dengan tidak menunjukkan gejala sisa. kini di luar negeri sudah ada anak autisme yang bersekolah samapi S3, menikah, dan memiliki anak bahkan menjadi pejabat. Kunci kesembuhan anak autisme ada dua, yaitu intervensi terapi perilaku dengan metode ABA dan intervensi biomedis. ABA merupakan singkatan dari Applied Behaviour analysis(ABA). Dipergunakan pertama kali dalam penanganan autisme oleh Lovaas, sehingga disebut dengan metode Lovaas. Metode ini melatih anak berkemampuan bahasa, sosial, akademis, dan kemampuan membantu diri sendiri. Pada tahun 1967, Lovaas sudah membuktikan ABA bisa memperbaiki ketidaknormalan anak autisme dnan tingkat keberhasilan sampai 89 persen. Sedangkan Intervensi biomedis diperlukan untuk membenahi kerusakan sel-sel tubuh akibat keracunan logam berat dan mengusir kendala-kendala yang menghalangi masuknya nutrisi ke otak. Intervensi biomedis menuntut anak untuk menjalani diet tertentu. Jenis makanan yang dipantang bergantung kondisi seberapa parah keracunan yang terjadi. Umumnya anak autisme dilarang mengkonsumsi susu sapi dan makanan mengandung tepung terigu.

Diet Susu Sapi dan Terigu
Susu sapi mengandung protein kasein sedangkan terigu mengandung protein gluten. Menurut Rudy, tubuh anak-anak autis tidak bisa mencerna kasein dan gluten secara sempurna. Uraian senyawa yang tidak sempurna masuk ke pembuluh darah dan sampai ke otak sebagai morfin. Ini terbukti dengan ditemukannya kandungan morfin yang bercirikan kasein dan gluten pada tes urine anak-anak autisme. Keberadaan morfin jelas mempengaruhi kerja otak dan pusat-pusat saraf sehingga anak berprilaku aneh dan sulit berinteraksi dengan lingkungannya. "Makanya anak autisme berprilaku seperti anak morfinis. kadang-kadang saja bisa berinteraksi dengan lingkungannya tapi hanya sementara kemudian ngawur lagi" kata Rudy. Dengan diet kasein dan gluten dapat meminimalkan gangguan morfin dan merangsang kemampuan anak menerima terapi ABA.

Deteksi autisme
Amati gerak balita Anda, sebab gejala autisme muncul pada fase usia 0-3 tahun ada banyak gejala autisme. sekalipun ada kontak mata, jika anak menunjukkan gejala autisme lain, sebaiknya segera berkonsultasi dengan dokter saraf anak atau ahli kejiwaan anak untuk memastikan diagnosa autisme. Diagnosa bisa dipercaya bila dokter melakukan test dengan kriteria DSM IV atau ICD-10.

Indikator perilaku autistik pada anak-anak
Bahasa dan Komunikasi
  • Ekspresi wajah datar
  • Tidak menggunakan bahasa atau isyarat tubuh
  • Jarang memulai komunikasi
  • Tidak meniru aksi dan suara
  • Bicara sedikit atau tidak ada
  • Mengulangi atau membeo kata-kata, kalimat-kalimat, atau nyanyian
  • Mengucapkan intonasi atau ritme vokal yang aneh
  • Tampak tidak mengerti arti kata. Kalau mengerti dan menggunakan kata secara terbatas
Hubungan dengan orang
  • Tidak responsif
  • Tidak ada senyum sosial
  • Tidak berkomunikasi dengan mata
  • Kontak mata terbatas
  • Tampak asyik bila dibiarkan sendirian
  • Tidak melakukan permainan giliran
  • Menggunakan tangan orang dewasa sebagai alat untuk melakukan sesuatu Hubungan dengan lingkungan
  • Bermain repetitif atau diulang-ulang
  • Marah dan tidak menghendaki perubahan
  • Berkembangnya rutinitas yang kaku
  • Memperlihatkan ketertarikan yang sangat pada sesuatu dan tidak fleksibel Respon terhadap rangsangan
  • Panik terhadap suara-suara tertentu
  • Sangat sensitif terhadap suara
  • Bermain dengan cahaya dan pantulan
  • Memainkan jari-jari di depan mata
  • Menarik diri ketika disentuh
  • Sangat tidak suka dengan pakaian, makanan, atau hal-hal tertentu
  • Tertarik pada pola, tekstur, atau bau tertentu
  • Sangat inaktif atau hiperaktif
  • Mungkin suka memutar-mutar sesuatu, bermain berputar-putar, membentur-benturkan kepala, atau menggigit pergelangan
  • Melompat-lompat atau mengepak-ngepakan tangan
  • Tahan atau berespon aneh terhadap nyeri Kesenjangan perkembangan perilaku
  • Kemampuan akan sesuatu mungkin sangat baik atau sangat terlambat
  • Mempelajari keterampilan di luar urutan normal.Misal : membaca tapi tidak mengerti arti
  • Menggambar secara rinci tapi tidak bisa mengancingkan baju
  • Pintar memainkan puzzle tapi amat sukar mengikuti perintah
  • Berjalan pada usia normal, tapi tidak bisa berkomunikasi
  • Lancar membeo bicara, tapi sulit memulai bicara dari diri sendiri (inisiatif komunikasi)
  • Suatu waktu dapat melakukan sesuatu, tapi di lain waktu tidak Vaksinasi: Manfaat dan Bahaya
    Dalam tubuh sekelompok anak autisme di AS yang sebelumnya berkali-kali menjalani imunisasi ditentukan kandungan merkuri di atas kadar normal. Bagaimana merkuri bisamasuk ke dalam tubuh anak? ternyat, beberapa jenis vaksin mengandung pengawet thimerosal. Hampir 50 persen senyawa ini terdiri dari etilmerkuri.

    Fakta lain tentang kaitan vaksin dan autismen diungkapkan Andrew Wakefield sekitar tahun 1998. Dokter asal Inggris ini memaparkan pemberian vaksin kombinasi MMR (Measles,Mumps,dan Rubella) untuk mencegah penyakit campak, gondong dan rubella (campak jerman) sekalipun vaksin tersebut tidak mengandung merkuri.

    Rudy menjelaskan MMR berisikan tiga viurs, diberikan pada anak dengan harapan anak dapat langsung memiliki tiga natibodi. Pada anak-anak tertentu, kedatangan tiga virus sekaligus menimbulkan reaksi autoimun dimana zat yang seharusnya melindungi malah menyerang tubuh, tepatnya yang serang bagian selubung serabut saraf otak.

    Saat ini belum satu pun negara melarang penggunaan vaksin-vaksin tersebut, mengingat keberadaannya diperlukan untuk mencegah wabah penyakit berbahaya di masyarakat luas. Negara maju seperti AS pun baru tahap memerintahkan produsen untuk emnghentikan pembuatan vaksin ber-thoimerosal dan segera memproduksi vaksin bebas merkuri. Stok vaksin bermerkuri masih digunakan. Bila produksi vaksin baru telah mencukupi kebutuhan negaranya, barulah vaksin "bermasalah" ditarik dari peredaran.

  • karenanya Rudy menyarankan dalam melakukan vaksinasi sebaiknya para orangtua lebih mengutamakan kondisi individu anak. Bila di lingkungan keluarga besar ada yang mengidap autisme, kelainan genetik seperti down syndrown, atau penyakit autoimun seperti lupus dan jantung rematik, anak beresiko mengidap autisme. Tetap berikan imunisasi untuk melindungi anak dari penyakit menular, tetapi lakukan dengan yang cara lebih teliti. Mintalah dokter memberikan vaksinasi measles,mumps,dan rubella dengan jadwal terpisah berjarak sekitar 3 bulan antara satu dengan yang lainnya.

    (sumber: http://www.pdpersi.co.id/?show=detailnews&kode=930&tbl=artikel)

    Anak Autis Butuh Guru Pendamping

    Kesadaran orangtua untuk menyembuhkan anaknya yang menderita autis kian meningkat. Mereka berharap anaknya dapat hidup normal. Kegiatan terapi di Kiddy Autism Centre, Sungai Kambang, Jambi, pada hari Kamis (8/5).

    Minggu, 21 September 2008 | 16:13 WIB

    MEDAN, MINGGU - Anak autis yang baru belajar di sekolah umum memerlukan guru pendamping (shadow teacher) selain guru yang ada di depan kelas dan sifatnya hanya sementara sampai anak bisa mandiri di dalam kelas.

    Koordinator Yayasan ISSADD Indonesia Medan, E. Pratiwi, di Medan, Minggu (21/9), mengatakan, hampir semua sekolah di Indonesia lebih memprioritaskan muatan akademik yang bersifat teori dan menghafal pada siswanya.

    Muatan akademik yang lebih banyak menuntut siswa untuk paham secara teori itu akan sulit diikuti oleh anak autis karena anak autis adalah visual learner, yakni butuh materi yang dipresentasikan dalam bentuk visual agar konsepnya bisa dipahami.

    "Di sinilah dibutuhkan peran guru pendamping untuk menjelaskan kepada anak autis apa yang harus dikerjakannya sesuai dengan intruksi dari guru di depan kelas," katanya.

    Ia mengatakan, sebagian orangtua yang memiliki anak autis menyadari beratnya tuntutan akademik sekolah di Indonesia, sehingga mencoba mencari sekolah yang tidak terlalu banyak muatan akademik dengan metode belajar-mengajar yang juga disajikan dengan lebih menyenangkan dan penuh bantuan visual.

    Namun sayangnya, biasanya kegiatan belajar dan mengajar di sekolah tersebut lebih banyak dilakukan dengan bilingual (bahasa Inggris), padahal hampir sebagian besar anak autis bermasalah dengan bahasa.

    Untuk itu dibutuhkan koordinasi antara pihak sekolah, orangtua, dan terapis dalam menentukan bagaimana menangani anak dengan kebutuhan khusus (autis) di sekolah.

    "Selama ini penanganan satu kasus anak autistic dengan yang lain selalu disamakan, pihak sekolah juga melarang pendamping untuk ikut serta dalam kegiatan belajar dan mengajar walau pendamping sifatnya hanya sementara," ungkapnya.

    Di negara maju seperti Australia dan Singapura, telah dikembangkan metode IEP (individual education program) untuk anak yang berkebutuhan khusus.

    Program ini dibuat atas kerjasama pihak sekolah, orangtua dan terapis yang didasari potensi dan kemampuan anak, dimana ada beberapa muatan akademik yang disesuaikan dengan kemampuan anak autis tersebut.

    Dalam hal ini harus ada kerjasama antara pihak sekolah, orangtua dan terapis. Praktiknya, anak autistik tetap disatukan dengan anak normal lainnya tapi pola belajarnya berbeda, misalnya memberikan instruksi tidak hanya dengan mengatakan instruksi tersebut tapi juga dibantu dengan bantuan visual, ujarnya.

    Sumber: http://kompas.com/read/xml/2008/09/21/16132933/anak.autis.butuh.guru.pendamping

    Anak autis juga bisa belajar



    Saat si kecil terdiagnosa mempunyai bakat khusus berupa autisme, rasa kaget tak dapat dipungkiri pasti ada di pikiran Anda. begitu juga dengan kehidupannya nanti. Bagaimana caranya belajar? Bagaimana nanti dengan perkembangannya? Apa yang sesungguhnya dibutuhkan anak autis? Semoga yang di bawah ini dapat membantu menjawab berbagai pertanyaan Anda.


    1. Terapi apa yang paling cocok bagi anak autis?
    Untuk menentukan terapi yang paling cocok bagi anak autis pada awalnya perlu dilakukan asesmen atau pemeriksaan menyeluruh terhadap anak itu sendiri. Asesmen itu bertujuan untuk mengetahui derajat keparahan, tingkat kemampuan yang dimilikinya saat itu, dan mencari tahu apakah terdapat hambatan atau gangguan lain yang menyertai. Biasanya terapi yang diberikan adalah terapi untuk mengembangkan ketrampilan-keterampilan dasar seperti, ketrampilan berkomunikasi, dalam hal ini keterampilan menggunakan bahasa ekspresif (mengemukakan isi pikiran atau pendapat) dan bahasa reseptif (menyerap dan memahami bahasa). Selain itu, terapi yang diberikan juga membantu anak autis untuk mengembangkan ketrampilan bantu diri atau self-help, ketrampilan berperilaku yang pantas di depan umum, dan lain-lain.
    Dengan kata lain, terapi untuk anak autis bersifat multiterapi.

    2. Apa kendala paling sulit pada saat terapi anak autis?
    Kendala pada terapi anak autis tergantung pada kemampuan unik yang ia miliki, ada anak autis yang dapat berkomunikasi, ada yang sama sekali tidak. Namun sebagian besar anak autis memiliki keterbatasan atau hambatan dalam berkomunikasi sehingga ini menjadi kendala besar saat terapi. Anak belum dapat mengikuti instruksi guru dengan baik. Bahkan anak kadang tantrum saat diminta mengerjakan tugas yang diberikan. Terkadang anak autis suka berbicara, mengoceh, atau tertawa sendiri pada waktu belajar.

    3. Bagaimana sikap anak autis saat menjalani terapi?
    Biasanya anak autis memiliki hambatan atau keterbatasan dalam berkomunikasi. Hal tersebut terlihat dari perilaku mereka yang cenderung tidak melihat wajah orang lain bila diajak berinteraksi, sebagian besar kurang memiliki minat terhadap lingkungan sekitar, dan sebagian cenderung tertarik terhadap benda dibandingkan orang.

    4. Apa perubahan yang diharapkan setelah terapi?
    Pada akhirnya, anak autis diharapkan dapat memiliki berkomunikasi, yang tadinya cenderung bersifat satu arah menjadi dua arah. Dalam artian ada respon timbal balik saat berkomunikasi atau bahasa awamnya “nyambung”. Kemudian perubahan lain yang juga diharapkan adalah memiliki ketrampilan bantu diri, kemandirian, serta menyatu dan berfungsi dengan baik di lingkungan sekitarnya. Hasil yang menggembirakan tentu sangat diharapkan orang tua anak penderita autis. Ini terlihat bila anak tersebut sudah dapat mengendalikan perilakunya
    sehingga tampak berperilaku normal, berkomunikasi dan berbicara normal,
    serta mempunyai wawasan akademik yang cukup sesuai anak seusianya.

    5. Seberapa cepat perubahan akan terlihat?
    Perubahan atau kemajuan yang terjadi tentunya bersifat individual. Hal tersebut tergantung pada hasil asesmen, gaya belajar anak autis, dan intensitas dari terapi atau pendidikan yang diberikan serta kerjasama antara orangtua, pengasuh anak dengan para pendidik, terapis atau ahli kesehatan

    6. Bagaimana mengenai pendidikan anak autis?
    Perlu diketahui bahwa setiap anak autis memiliki kemampuan serta hambatan yang berbeda-beda. Ada anak autis yang mampu berbaur dengan anak-anak ’normal’ lainnya di dalam kelas reguler dan menghabiskan hanya sedikit waktu berada dalam kelas khusus namun ada pula anak autis yang disarankan untuk selalu berada dalam kelas khusus yang terstruktur untuk dirinya. Anak-anak yang dapat belajar dalam kelas reguler tersebut biasanya mereka memiliki kemampuan berkomunikasi, kognitif dan bantu diri yang memadai. Sedangkan yang masih membutuhkan kelas khusus biasanya anak autis dimasukkan dalam kelas terpadu, yaitu kelas perkenalan dan persiapan bagi anak autis untuk dapat masuk ke sekolah umum biasa dengan kurikulum umum namun tetap dalam tata belajar anak autis, yaitu kelas kecil dengan jumlah guru besar, dengan alat visual/gambar/kartu, instruksi yang jelas, padat dan konsisten, dsb).

    7. Bagaimana metode belajar yang tepat bagi anak autis?
    Metode belajar yang tepat bagi anak autis disesuaikan dengan usia anak serta, kemampuan serta hambatan yang dimiliki anak saat belajar, dan gaya belajar atau learning style masing-masing anak autis. Metode yang digunakan biasanya bersifat kombinasi beberapa metode. Banyak, walaupun tidak semuanya, anak autis yang berespon sangat baik terhadap stimulus visual sehingga metode belajar yang banyak menggunakan stimulus visual diutamakan bagi mereka. Pembelajaran yang menggunakan alat bantu sebagai media pengajarannya menjadi pilihan. Alat Bantu dapat berupa gambar, poster-poster, bola, mainan balok, dll. Pada bulan-bulan pertama ini sebaiknya anak autis didampingi oleh seorang terapis yang berfungsi sebagai guru pembimbing khusus

    8. Pengajar seperti apa yang dibutuhkan bagi anak autis?
    Pengajar yang dibutuhkan bagi anak autis adalah orang-orang yang selain memilii kompetensi yang memadai untuk berhadapan dengan anak autis tentunya juga harus memiliki minat atau ketertarikan untuk terlibat dalam kehidupan anak autis, memiliki tingkat kesabaran yang tinggi, dan kecenderungan untuk selalu belajar sesuatu yang baru karena bidang autisma ini adalah bidang baru yang selalu berkembang.

    9. Suasana belajar seperti apa yang dibutuhkan anak autis?
    Tergantung dengan kemampuan dan gaya belajar masing-masing anak autis. Ada anak autis yang mencapai hasil yang lebih baik bila dibaurkan dengan anak-anak lain, baik itu anak ’normal’ maupun anak-anak dengan kebutuhan khusus lainnya. Ada anak autis yang lebih baik bila ditempatkan pada suasana belajar yang tenang, tidak banyak gangguan atau stimulus suara, warna, atau hal-hal lain yang berpotensi mengalihkan perhatian.

    10. Apa saja yang diajarkan dalam pendidikan anak autis?
    Komunikasi (bahasa ekspresif dan reseptif), ketrampilan bantu diri, ketrampilan berperilaku di depan umum, setelah itu dapat diajarkan hal lain yang disesuaikan dengan usia dan kematangan anak serta tingkat inteligensi,.

    11. Sampai umur berapa tahun anak autis mendapat pendidikan khusus?
    Semua itu sekali lagi tergantung pada kemampuan anak, gaya belajar anak, serta sejauh mana kerjasama antara orangtua atau pengasuh dengan pendidik atau terapis.

    12. Umur berapa anak sudah dapat dilepas masuk ke sekolah umum?
    Lagi-lagi hal ini tergantung pada kemampuan anak.

    13. Berapa besar kemungkinan anak autis berbaur dengan murid lain di sekolah biasa?
    Kemungkinan selalu ada. Akan tetapi semua itu tergantung pada kemampuan anak autis tersebut dan apakah sistem pendidikan atau fasilitas di sekolah ’biasa’ itu mendukung berbaurnya anak autis dengan murid-murid lain dalam kelar reguler.

    14. Apakah pada akhirnya anak autis dapat hidup di lingkungan umum tanpa perlakuan khusus?
    Untuk beberapa kasus yang amat jarang terjadi (sampai saat ini), ada individu dengan autisma dengan kemampuan berkomunikasi yang memadai, tingkat inteligensi yang memadai, serta pendidikan dapat mendukung dirinya untuk mandiri dan berbaur dengan lingkungan tanpa perlakuan khusus. Hal ini bergantung pada faktor internal (diri anak autis sendiri) dan faktor eksternal, yaitu lingkungan, apakah sistem di lingkungan mendukung atau memungkinkan anak autis untuk dapat berfungsi secara baik dalam kesehariannya.

    (sumber: http://www.parenting.co.id/article/article_detail.asp?catid=2&id=12)


    kebutuhan nutrisi

    Nutrient yang diperlukan untuk anak autis (sumber nutritional healing, 2006)

    YANG PALING UTAMA
    1. Calcium 1.500 mg perhari dan Magnesium 1.000mg perhari
    this is essential for normal brain and nervous system function. seingat saya saya pernah menulis “miracle of magnesium” boleh dibaca lagi.

    2. Choline 500-2.000mg perhari.
    this improved brain function and circulation to the brain. use under professional supervision.

    3. Co enzyme Q-10 and Dimethylglycine 100mg perhari
    improved brain function. an oxgygen carrier to the brain. imprtant for normal brain and nervous system function.

    4. Vitamin B Kompleks
    contain Vitamin B3 (50mg 3kali sehari), B 5 (500mg perhari), B6 (50 mg 3 kali sehari). this is essential for normal brain and nervous system function.

    5. vitamin C 5-20 grams perhari yang sanagt ampuh untuk melawan radikal bebas.

    Sumber: http://tukangobatbersahaja.wordpress.com

    Kontributor: Nuruls Sofa

    Makanan yang Dihindari

    "Menurut Prof. Hembing Wijayakusuma, ada beberapa mkakanan yang harus
    dihindari anak-anak autism, yaitu:
    - Makanan yang mengandung gluten seperti gandum dan produk olahannya;
    - Makanan yang mengandung casein seperti susu sapi dan produk olahannya;
    - MSG, zat warna (terutama zat pewarna merah), borax, pemanis buatan,
    pengawet atau formalin (seperti tahu yang mengandung formalin), dan zat-zat
    tambahan lainnya;
    - Buah jeruk, pisang, apel, anggur
    - Makanan kalengan, minuman bersoda, fastfood
    - Saus tomat
    - Kafein dan lain-lain

    BAHAN MAKANAN YANG DISARANKAN BAGI ANAK AUTISM:
    - Lobak, wortel, kiwi, angco
    - Biji-bijian seperti jali
    - Biji teratai
    - Akar alang-alang, direbus dengan air lalu diminum;
    - Ayam kampung
    - Ikan yang hidup di air yang tidak tercemar, juga makanan seafood lain
    termasuk kerang dan lain-lain.

    CATATAN:
    - Sayur, buah-buahan dan biji-bijian bisa dihaluskan terlebih dahulu;
    - Bagi anak autism dapat menggunakan gula untuk anak autis;
    - Bagi anak autism yang tidak peka terhadap gula, dapat menggunakan gula
    sedikit saja;
    - Minyak sayur/mentega yang digunakan disarankan yang berasal dari
    sayur-sayuran."

    Sumber: www.mail-archive.com

    Kontributor: Nuruls Sofa

    Artikel autisme pada anak

    nawangsari
    Sun, 11 Feb 2001 16:36:28 -0800
    Guru Harus Memahami Autisme pada Anak
    Media Indonesia - Kesra (12/02/2001 01:33 WIB)

    JAKARTA (Media): Pengetahuan guru terhadap autisme sangat berperan untuk
    meminimalisasi gejala gangguan perkembangan tersebut jika autisme ada pada
    anak didiknya. Paling tidak guru sebaiknya sadar bahwa autisme merupakan
    kelainan yang membuat seorang anak sulit merespons komunikasi yang dilakukan
    guru.
    Hal ini penting karena sikap yang diperlihatkan oleh seorang anak penderita
    autisme sering menunjukkan ketidakpatuhan yang menyebabkan guru
    menganggapnya sebagai pembangkangan. Padahal sikap tersebut disebabkan suatu
    gangguan interaksi sosial yang dimiliki sang anak.

    Menurut Ketua Jurusan Program Studi Bimbingan Konseling FKIP Unika Atma Jaya
    Gerda Wanai, banyaknya guru yang tidak memahami gejala autisme membuat
    anak-anak penderita gangguan perkembangan tersebut menjadi lebih terisolasi.

    "Padahal intervensi dini pada anak-anak autisme dapat mengurangi perbedaan
    yang diderita jauh lebih besar. Sementara jika tidak dilakukan justru akan
    membuat gangguan tersebut semakin dalam," kata Gerda di sela-sela workshop
    Pelatihan Mengatasi Autisme pada Anak yang diselenggarakan FKIP Unika Atma
    Jaya bekerja sama dengan Yayasan Penanganan Autisme (YPA) dan Intervention
    Services for Autism and Development Delay (ISADD), Sabtu (10/2).

    Untuk menangani masalah autisme ini, menurut Gerda, diperlukan suatu
    pendidikan terpadu khusus bagi anak-anak autisme. Dalam arti penderita
    autisme tetap berada di sekolah umum, namun mendapatkan perhatian lebih
    dengan ditempatkan pada kelas yang jumlah muridnya lebih sedikit.

    Selama ini, lanjut Gerda, ada semacam kontradiksi bagi anak autisme. Di satu
    sisi orang tua penderita merasa anaknya normal karena tidak ada kecacatan
    fisik, sehingga mereka memasukkan anaknya di sekolah umum. Di sisi lain di
    sekolah umum anak-anak autisme tidak dapat berinteraksi sehingga sulit
    menerima pelajaran.

    Yang terjadi selanjutnya, kata Gerda, penderita autisme dimasukkan ke
    Sekolah Luar Biasa C (SLB yang ditujukan bagi penderita keterbelakangan
    mental). "Padahal dengan dimasukkan ke SLB C, perkembangan anak autisme
    justru menurun. Karena secara mental mereka sebenarnya tidak apa-apa. Brain
    mereka ada, namun mereka egois, sibuk sendiri dengan sesuatu, dan tidak
    dapat berinteraksi. Kalau digabung dengan anak-anak yang terbelakang mental,
    ya malah mundur."

    (sumber:http://www.mail-archive.com/balita-anda@indoglobal.com/msg21152.html)

    Diet Anak Autis

    Makanan yang boleh dimakan pada diet CFGF untuk anak autisme


    buah-buahan segar

    -sayuran segar

    -buah kering (tanpa sulfat)

    -kelapa (tanpa sulfit)

    -keripik kentang (tanpa zat aditif)

    -French fries (tanpa zat aditif)

    -popcorn (tanpa mentega)

    -daging segar,unggas,ikan dan kerang

    -jagung

    -padi-padian

    -beras dan produknya (mi,roti,susu,dan kripik)

    -Quinoa (bentuk tepung maupun mi)

    -kentang (kentang segar,tepung, dan sagu kentang)

    -soba

    -ubi rambat

    -kedelai

    -tepung sorgum/gandum

    -kacang-kacangan (jika tidak alergi)

    -telur (jik tidak alergi atau PST)

    -kacang buncis

    -miju-miju (lentils)

    -tapioka

    -teff

    -amaranth

    -groats

    Sumber: www.drrizkyp.wordpress.com

    Kontributor: Nuruls Sofa

    makanan

    Susu Sapi dan Gandum Bersifat Morfin bagi Penyandang Autis

    Susu sapi dan gandum bagi penyandang autis (autism spectrum disorders/ASD) tertentu bersifat morfin. Pasalnya, protein susu sapi (kasein) dan protein gandum (gluten) membentuk kaseomorfin dan gluteomorfin, sehingga terjadi gangguan perilaku seperti hiperaktif.

    Hal itu diutarakan dr Sjawitri P Siregar SpA(K) dalam Konferensi Nasional Autisme-1 pada hari ketiga, Jumat (4/7) di Jakarta. Hal itu terjadi karena kebocoran saluran cerna (leaky gut syndrome) sebagai akibat tidak seimbangnya bakteri dan jamur. Ketidakseimbangan itu muncul akibat pemakaian antibiotika yang berlebihan sehingga meningkatkan permeabilitas usus. Antibiotika akan membunuh bakteri flora usus seperti laktobasilus. Sementara, jamur terutama candida akan tumbuh berlebihan sehingga selaput dinding usus terganggu.

    Keadaan itu menyebabkan berbagai makromolekul protein susu sapi atau zat toksik melewati dinding saluran cerna ke darah. Akibatnya bisa terjadi gangguan susunan dan fungsi otak yang mengakibatkan gangguan tingkah laku, gangguan perkembangan dan gangguan proses belajar. Selain itu, kata Sjawitri, pada anak-anak ASD terjadi gangguan enzim pencernaan, seperti enzim Dipeptidylpeptidase IV (DPP IV) yang berfungsi menguraikan ikatan peptide, sehingga pencernaan protein terganggu.

    "Protein susu sapi dan protein gandum tidak akan tercerna sempurna. Kedua peptide itu akan diserap saluran cerna anak autis yang mempunyai kerusakan barier selaput lendir usus, dan di dalam otak bertindak sebagai neurotransmiter palsu dan berikatan dengan reseptor morfin sehingga terjadi gangguan perilaku," katanya.

    Ia menjelaskan, susu sapi adalah antigen pertama yang dikenal bayi. Protein susu sapi terdiri atas 25 macam fraksi, yang masing-masing dapat menyebabkan reaksi simpang setelah minum susu sapi atau alergi.

    Alergi susu sapi lebih sering terjadi pada usia tahun pertama dari kehidupan karena selain faktor genetik, faktor barier selaput lendir usus (mukosa) masih imatur, serta faktor lingkungan turut berperan. Angka kejadian alergi susu sapi meningkat di berbagai negara dengan meningkatnya penyakit alergi seperti asma, rinitis, dan dermatitis atopik. Di Poliklinik Alergi Imunologi Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI/ RSCM sekitar 2,4 persen anak alergi susu sapi.


    Diet Kasein
    Sjawitri menyebutkan, alergi susu sapi muncul karena kelainan imunologi (kekebalan tubuh) yang disebut juga hipersensitivitas. Kelainan imunologi itu terdiri atas empat. Tipe I (IgE mediated), muncul segera dalam beberapa menit sampai dua jam setelah minum susu sapi. Tipe II, disebut antigen antibodi dependent cytotoxic yang menimbulkan gejala trombositopeni setelah beberapa jam. Tipe III, merupakan reaksi kompleks antigen antibodi, gejalanya muncul setelah 1-24 jam minum susu sapi. Tipe IV, onset, yang gejalanya muncul setelah beberapa jam sampai beberapa hari minum susu sapi.

    Ia menambahkan, pencegahan alergi bisa dilakukan sejak usia bayi masih dalam kandungan. Ia menganjurkan ibu hamil yang alergi untuk menghindari susu sapi. Juga tidak merokok.

    Bila air susu ibu (ASI) tidak bisa diberikan, dianjurkan bayi minum susu sapi hipoalergenik atau susu sapi hidrolisat sampai umur enam bulan. Si ibu juga minum susu sapi yang sama. Karena, susu sapi hidrolisat mempunyai ukuran molekul yang lebih kecil.

    Pada kesempatan itu, dr Rini P Parmadji SpJP yang mempunyai seorang anak penyandang autis, mengaku menerapkan diet pada anaknya sejak berusia 17 bulan. Diet yang dilakukan meliputi, diet bebas kasein dan gluten, diet bebas gula, diet bebas jamur, diet bebas zat aditif, diet bebas fenol dan salisilat, diet rotasi, pemberian suplemen makanan. Di samping itu, cara memasak dan penyediaan makanan pun diatur. Seperti, makanan tidak dimasak pada wadah terbuat dari aluminium.

    Setelah tiga bulan anaknya diet gluten dan kasein (menghindarkan semua produk makanan seperti biskuit, roti, makanan kemasan, susu sapi, keju, permen susu) terjadi perubahan. Anaknya lebih tenang, mampu berbicara, dan cara berlarinya lebih mantap.

    Sumber: www.gizi.net
    www.suarapembaruan.com

    Kontributor: Nuruls Sofa

    Minggu, 26 Oktober 2008

    Vaksin MMR Bukan Penyebab Autisme

    Jumat, 5 September 2008 | 11:00 WIB

    KEKHAWATIRAN para orangtua akan isu vaksin yang dapat menyebabkan austisme tampaknya akan semakin pudar. Sebuah riset di Amerika Serikat (AS) membuktikan, tidak hubungan sama sekali antara autisme dengan pemberian vaksin MMR (measles, mumps, rubella).

    Riset yang telah dipubliskasi Rabu kemarin dalam jurnal Public Library of Science edisi online ini adalah penelitian yang mematahkan riset sebelumnya oleh Dr Andrew Wakefield dari Royal Free Hospital, Inggris. Dalam risetnya yang kemudian ditarik dari jurnal Lancet, Wakefield mengindikasikan adanya kaitan antara vaksin MMR dan autisme.

    Para ahli dari Columbia University New York dan Centers for Disease Control (CDC) membantah indikasi riset Wakefield setelah meneliti sinyal-sinyal penanda genetika dari virus measles (campak) pada sampel jaringan usus 25 anak pengidap autisme yang juga menderita gangguan pencernaan.

    Mereka membandingkan sampel tersebut dengan 13 anak lainnya yang bukan autis, tapi mengidap gangguan pencernaan. Jaringan ini lalu dianalisa di tiga laboratorium berbeda dengan sistem pemeriksaan acak.

    Menurut peneliti, hasil riset ini telah menyediakan bukti kuat yang mematahkan dugaan adanya hubungan autisme dengan virus campak pada saluran pencernaan ataupun paparan MMR. “Kami tak menemukan hubungan antara masa pemberian vaksin MMR dan kejadian penyakit gastrointestinal ataupun autisme,” ungkap pimpinan riset, Dr Mady Hornig.

    Di AS sendiri, klaim pengadilan federal telah mempertimbang komplain para orangtua dalam setahun terakhir. CDC mengatakan, kekhawatiran orangtua akan risiko vaksin membuat mereka enggan memberikan vaksin MMR kepada anak sehingga memicu peningkatan kasus campak di AS dan Eropa.

    Penyakit campak menyebabkan kematian pada sekurangnya 250.000 orang per tahun, dan korban sebagian besar adalah anak-anak di negara berkembang. Berdasarkan data CDC, satu dari 150 anak di Amerika mengidap autisme.(sumber: http://www.kompas.com/read/xml/2008/09/05/11005080/vaksin.mmr.bukan.penyebab.autisme)



    Autisme
    Kromosom Abnormal Penyebab Autisme

    Seorang Bocah Penderita Autisme di Tempat Terapi (Yahoo! News/AFP/File/Liu Jin)Si kecil Ludin suka bermain sendirian sejak berumur dua tahun. Ia sering marah dan gusar bila ditemani bermain. Awalnya, ibunda Ludin, Nyonya Imroatus, menganggap putranya tak punya kelainan. Ia menyangka, putranya cuma ogah ditemani.

    Tetapi, setelah Ludin berumur tiga tahun, kebiasaan itu tak kunjung berubah. Bocah ini malah cenderung cuek terhadap lingkungannya. Ludin tak mau menyahut bila dipanggil. Ia ogah berkomunikasi dengan siapa pun. Bocah ini cenderung asyik dengan dirinya sendiri.

    Nyonya Imroatus mengkhawatirkan perkembangan putra semata wayangnya. Ia lantas membawa si kecil ke ahli psikiatri. Hasil analisis psikiater, Ludin mengalami autisme. Nyonya Imroatus kaget bukan kepalang setelah mengetahui kondisi putranya, mengingat selama ini anak autisme tergolong sulit ditangani.

    Nyonya Imroatus tak patah arang. Demi masa depan putranya, apa pun dia lakukan. Kini Nyonya Imroatus rajin membawa si buah hati berobat dan berkonsultasi dengan dokter ahli di Rumah Sakit Soetomo, Surabaya.

    Selama tiga bulan terakhir ini, Ludin menjalani terapi di rumah sakit itu. Perkembangannya lumayan pesat. Ludin mulai mau mengucapkan sejumlah kosakata sederhana: "bapak", "ibu", dan "makan". Nyonya Imroatus tak habis pikir, mengapa anaknya menderita autisme.

    Padahal, di lingkungan keluarganya tak satu pun yang menderita autisme. Baik keluarga dari pihak ayah atau ibu Nyonya Imroatus maupun keluarga suaminya. Karena itulah, ia kaget setelah membaca berita bahwa autisme bersifat genetik. "Yang dialami anak saya itu yang pertama di keluarga kami," kata Nyonya Imroatus.

    Kaitan genetik dengan autisme muncul dari pernyataan Steven Scherer, peneliti di Universitas Toronto, Kanada. Ia bersama para ilmuwan dari sejumlah negara melakukan penelitian tentang autisme yang didanai Autism Genome Project Cabang Kanada. Scherer bersama para ilmuwan dari sembilan negara mengumpulkan gen dari 1.168 keluarga.

    Tiap-tiap keluarga itu memiliki minimal dua anak autis. Scherer memeriksa kromosom X yang berjumlah 23. Ternyata, pada masing-masing kromosom ada beberapa gen yang abnormal. Dari situlah ia berkesimpulan bahwa autisme bersifat genetik. Dan pada kromosom nomor 11 itulah yang paling menonjol kelainannya.

    "Fakta ini menunjukkan bahwa 90% penyebab autisme adalah gen," kata Scherer, seperti dikutip ABCnews.com, Senin pekan silam. Ia menyatakan bahwa studi itu belum kelar. Kemungkinan Scherer bisa merampungkan penelitiannya ini paling singkat tiga tahun lagi.

    Lewat penelitian itu, Scherer berharap, nanti bisa diketahui berapa banyak gen abnormal yang terlibat dan punya keterkaitan di antara gen-gen. "Jika hal itu sudah diketahui, kemungkinan akan dapat dibuat obatnya," kata Scherer.

    Dokter Bridget Fernandez, selaku Ketua Autism Genome Project, memperkuat temuan Scherer. Menurut dia, autisme --seperti juga asma-- berkaitan dengan faktor keturunan. Ia yakin, faktor gen berperan, meski autisme tidak akan muncul dalam satu jenjang keturunan. Artinya, autisme bisa tak diturunkan dari orangtua, melainkan bisa juga melalui garis dari buyut.

    Temuan Scherer tentu saja membuka harapan penyembuhan autisme. Sebab jumlah penyandang autisme kian hari kian bertambah. Dokter Nining Febriana, psikiater anak yang bekerja di Rumah Sakit Dokter Soetomo, mengungkapkan bahwa jumlah anak autis cenderung bertambah, Dalam sebulan, ia rata-rata menerima lima pasien baru yang menderita autisme.

    Anak autis yang ditangani Dokter Nining dalam sepekan mencapai 40 anak. "Makin hari makin banyak. Mungkin para orangtua mulai sadar," kata Nining. Makin bertambahnya kasus anak autis juga terlihat dari bermunculannya sekolah-sekolah khusus penyandang autisme.

    Di Jakarta Selatan ada sekolah Mandiga. Lalu di Pantai Indah Kapuk, Jakarta Utara, telah berdiri Indonesia Centre for Autism Resource and Expertise (Indocare). Indocare akan menjadi pusat percontohan bagi pengembangan sumber daya dan pelatihan khusus untuk anak yang mengalami gangguan spektrum autisme.

    Di Indonesia, diperkirakan lebih dari 400.000 anak menyandang autisme. Sedangkan di dunia, pada 1987, prevalensi penyandang autisme diperkirakan 1 berbanding 5.000 kelahiran. Sepuluh tahun kemudian, angka itu berubah menjadi 1 anak penyandang autisme per 500 kelahiran. Pada tahun 2000, naik jadi 1:250.

    Tahun lalu, jumlah anak autis bertambah banyak. Diperkirakan 1:100 kelahiran. Prevalensi penderita autisme kini lebih banyak ketimbang anak-anak penyandang sindroma down, yang ditandai dengan muka Mongoloid.

    Temuan Scherer menyingkirkan dugaan-dugaan penyebab autisme yang selama ini mendominasi. Ada yang bilang, autisme merupakan dampak buruk merkuri. Bahkan sejumlah vaksin dan obat-obatan pernah disebut-sebut sebagai penyebab autisme.

    Teori itu tidak mengada-ada, karena kadar merkuri dalam darah penyandang autisme cukup tinggi. Bahkan sebuah penelitian menemukan, kadar merkuri pada rambut anak autis cukup tinggi. Ada peneliti yang mementahkan teori itu, tapi banyak yang mengiyakan.

    Dugaan lain, autisme disebabkan oleh faktor pemberian nutrisi sewaktu bayi masih di dalam kandungan. Makanan yang mengandung bahan pengawet yang dikonsumsi ibu hamil berpengaruh terhadap pertumbuhan janin.

    "Makanan yang mengandung bahan pengawet, seperti makanan cepat saji, sangat buruk bagi pertumbuhan janin. Makanan laut yang tercemar merkuri juga berbahaya bagi janin," kata Dokter Nining Febriana kepada Ari Sulistyo dari Gatra.

    Selain makanan instan, ditemukan banyak unsur kasein dan gluterin pada tubuh pasien autisme. Kasein banyak terdapat pada susu sapi, sedangkan gluterin pada terigu. Maka, penyandang autisme dilarang mengonsumsi susu sapi dan makanan yang terbuat dari tepung terigu.

    "Jika itu dipatuhi, jumlah anak autis berangsur-angsur bisa berkurang," ujar Nining. Menanggapi temuan Scherer, Nining mengatakan bahwa faktor genetik dulu memang menjadi dugaan. Segala kemungkinan faktor penyebab autisme masih bisa muncul, termasuk faktor genetik.

    Dokter Tjin Wiguna, psikiater anak pada Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, juga mengamini soal peran kelainan genetik. Ada kemungkinan, keluarga yang punya anak autis akan memiliki anak lagi yang kena penyakit yang sama. "Risikonya 3% lebih tinggi ketimbang dari keluarga normal," katanya. Namun belum dapat digeneralisasi bahwa semua kasus anak autis terjadi karena kelainan gen.
    Aries Kelana dan Elmy Diah Larasati
    [Kesehatan, Gatra edisi 16 Beredar Kamis, 1 Maret 2007]

    (sumber: http://www.gatra.com/artikel.php?id=102873)

    Gejala Autisme

    Gejala – gejala pada autisme mencakup ganggguan pada :
    1. Gangguan pada bidang komunikasi verbal dan non verbal
    • Terlambat bicara atau tidak dapat berbicara
    • Mengeluarkan kata – kata yang tidak dapat dimengerti oleh orang lain yang sering disebut sebagai bahasa planet
    • Tidak mengerti dan tidak menggunakan kata – kata dalam konteks yang sesuai
    • Bicara tidak digunakan untuk komunikasi
    • Meniru atau membeo , beberapa anak sangat pandai menirukan nyanyian , nada , maupun kata – katanya tanpa mengerti artinya
    • Kadang bicara monoton seperti robot
    • Mimik muka datar
    • Seperti anak tuli, tetapi bila mendengar suara yang disukainya akan bereaksi dengan cepat
    2. Gangguan pada bidang interaksi sosial
    • Menolak atau menghindar untuk bertatap muka
    • Anak mengalami ketulian
    • Merasa tidak senang dan menolak bila dipeluk
    • Tidak ada usaha untuk melakukan interaksi dengan orang
    • Bila menginginkan sesuatu ia akan menarik tangan orang yang terdekat dan mengharapkan orang tersebut melakukan sesuatu untuknya.
    • Bila didekati untuk bermain justru menjauh
    • Tidak berbagi kesenangan dengan orang lain
    • Kadang mereka masih mendekati orang lain untuk makan atau duduk di pangkuan sebentar, kemudian berdiri tanpa memperlihatkan mimik apapun
    • Keengganan untuk berinteraksi lebih nyata pada anak sebaya dibandingkan terhadap orang tuanya
    3. Gangguan pada bidang perilaku dan bermain
    • Seperti tidak mengerti cara bermain, bermain sangat monoton dan melakukan gerakan yang sama berulang – ulang sampai berjam – jam
    • Bila sudah senang satu mainan tidak mau mainan yang lain dan cara bermainnya juga aneh
    • Keterpakuan pada roda (dapat memegang roda mobil – mobilan terus menerus untuk waktu lama)atau sesuatu yang berputar
    • Terdapat kelekatan dengan benda – benda tertentu, seperti sepotong tali, kartu, kertas, gambar yang terus dipegang dan dibawa kemana- mana
    • Sering memperhatikan jari-jarinya sendiri, kipas angin yang berputar, air yang bergerak perilaku ritualistik sering terjadi
    • Anak dapat terlihat hiperaktif sekali, misal; tidak dapat diam, lari kesana sini, melompat – lompat, berputar – putar, memukul benda berulang – ulang
    Dapat juga anak terlalu diam
    4. Gangguan pada bidang perasaan dan emosi
    • Tidak ada atau kurangnya rasa empati, misal melihat anak menangis tidak merasa kasihan, bahkan merasa terganggu, sehingga anak yang sedang menangis akan di datangi dan dipukulnya
    • Tertawa – tawa sendiri , menangis atau marah – marah tanpa sebab yang nyata
    • Sering mengamuk tidak terkendali (temper tantrum), terutama bila tidak mendapatkan apa yang diingginkan, bahkan dapat menjadi agresif dan dekstruktif
    5. Gangguan dalam persepsi sensoris
    • Mencium – cium , menggigit, atau menjilat mainan atau benda apa saja
    • Bila mendengar suara keras langsung menutup mata
    • Tidak menyukai rabaan dan pelukan . bila digendong cenderung merosot untuk melepaskan diri dari pelukan
    • Merasa tidak nyaman bila memakai pakaian dengan bahan tertentu

    Gejala autisme berbeda – beda dalam kuantitas dan kualitas ,penyandang autisme infantil klasik mungkin memperlihatkan gejala dalam derajat yang berat , tetapi kelainan ringan hanya memperlihatkan sebagian gejala saja. Kesulitan yang timbul, sebagian dari gejala tersebut dapat muncul pada anak normal, hanya dengan intensitas dan kualitas yang berbeda.
    Menurut profesor psikiatri anak dan ahli autis kaliber dunia dari Universitas Nijmegen Negeri Belanda, JK Buitelaar, mendiagnosa autisme tidak mudah dan perlu kehati-hatian tinggi. Alat deteksi autisme yang kini populer, yaitu CHAT untuk anak di bawah 18 bulan dan DSM IV yang digunakan untuk anak di bawah tiga tahun, masih dapat menunjukkan kesalahan yang sangat tinggi. Kesalahan akan terjadi terutama pada anak-anak yang mengalami gangguan lain, selain autisme, yaitu anak yang mengalami cacat intelegensia (mental retarded) dan keterlambatan bicara.

    Sumber: www.infoibu.com
    www.halohalo.co.id
    Kontributor: Nuruls Sofa

    Definisi Autis

    Autisme merupakan suatu gangguan kelainan neurobiologis yang luas dan berat yang timbul pada anak yang biasanya berumur 3 tahun dimana ia hanya tertarik pada aktivitas mentalnya sendiri seperti melamun atau berkhayal. Menurut buku Diagnosis Statistical of Mental Disorderss Fourth-Edition (DSMD-IV) gejala autis dapat ditandai oleh 3 hal, yaitu gangguan interaksi sosial, gangguan komunikasi, dan gangguan perilaku yang biasanya juga berpengaruh pada berkurangnya interaksi sosial, menghindari kontak mata, serta kesulitan dalam berbahasa.

    Sumber: www.info-sehat.com
    www.infoautis.com
    Kontributor: Nuruls Sofa

    Penyebab Autisme ?

    Jumlah penderita Autisme dalam dekade terakhir

    Autisme, sebuah penyakit yang satu abad yang lalu hampir tidak terdengar sama sekali, kini sudah hampir menjadi sesuatu yang normal. Perkembangan autisme terutama makin melejit di beberapa dekade terakhir, seperti yang dapat dilihat pada grafik di sebelah kanan.

    Ketika sudah terlanjur, Autisme bisa sangat sulit untuk dikendalikan, apalagi untuk disembuhkan. Jika kita mengetahui berbagai potensi penyebabnya, maka mudah-mudahan kita bisa mengatur agar anak kita terhindar dari itu semua. “Mencegah lebih baik daripada mengobati”, kata pepatah. Dan untuk kasus Autisme, dimana di Amerika saja perawatannya memakan biaya US$ 35 milyar per tahun, pepatah ini sangat telak mengenai sasaran.

    Penyebab pasti autisme belum diketahui sampai saat ini. Kemungkinan besar, ada banyak penyebab autisme, bukan hanya satu.
    Dahulu sempat diduga bahwa autisme disebabkan karena cacat genetik. Namun cacat genetika tidak mungkin terjadi dalam skala demikian besar dan dalam waktu demikian singkat. Karena itu kemudian para peneliti sepakat bahwa ada banyak kemungkinan penyebab autisme lainnya.

    Berbagai hal yang dicurigai berpotensi untuk menyebabkan autisme :

    1. Vaksin yang mengandung Thimerosal : Thimerosal adalah zat pengawet yang digunakan di berbagai vaksin. Karena banyaknya kritikan, kini sudah banyak vaksin yang tidak lagi menggunakan Thimerosal di negara maju. Namun, entah bagaimana halnya di negara berkembang …
    2. Televisi : Semakin maju suatu negara, biasanya interaksi antara anak - orang tua semakin berkurang karena berbagai hal. Sebagai kompensasinya, seringkali TV digunakan sebagai penghibur anak. Ternyata ada kemungkinan bahwa TV bisa menjadi penyebab autisme pada anak, terutama yang menjadi jarang bersosialisasi karenanya.

      Dampak TV tidak dapat dipungkiri memang sangat dahsyat, tidak hanya kepada perorangan, namun bahkan kepada masyarakat dan/atau negara. Contoh paling nyata adalah kasus pada negara terpencil Bhutan - begitu mereka mengizinkan TV di negara mereka, jumlah dan jenis kejahatan meningkat dengan drastis.

      Bisa kita bayangkan sendiri apa dampaknya kepada anak-anak kita yang masih polos. Hiperaktif ? ADHD ? Autisme ? Sebuah penelitian akhirnya kini telah mengakui kemungkinan tersebut.

    3. Genetik : Ini adalah dugaan awal dari penyebab autisme; autisme telah lama diketahui bisa diturunkan dari orang tua kepada anak-anaknya.

      Namun tidak itu saja, juga ada kemungkinan variasi-variasi lainnya. Salah satu contohnya adalah bagaimana anak-anak yang lahir dari ayah yang berusia lanjut memiliki kans lebih besar untuk menderita autisme. (walaupun sang ayah normal / bukan autis)

    4. Makanan : Pada tahun 1970-an, Dr. Feingold dan kolega-koleganya menyaksikan peningkatan kasus ADHD dalam skala yang sangat besar. Sebagai seseorang yang pernah hidup di era 20 / 30-an, dia masih ingat bagaimana ADHD nyaris tidak ada sama sekali di zaman tersebut.

      Dr. Feingold kebetulan telah mulai mengobati beberapa kasus kelainan mental sejak tahun 1940 dengan memberlakukan diet khusus kepada pasiennya, dengan hasil yang jelas dan cenderung dalam waktu yang singkat.

      Terapi diet tersebut kemudian dikenal dengan nama The Feingold Program.

      Pada intinya, berbagai zat kimia yang ada di makanan modern (pengawet, pewarna, dll) dicurigai menjadi penyebab dari autisme pada beberapa kasus. Ketika zat-zat tersebut dihilangkan dari makanan para penderita autisme, banyak yang kemudian mengalami peningkatan situasi secara drastis.

      Dr. Feingold membayar penemuannya ini dengan cukup mahal. Sekitar tahun 1970-an, beliau dikhianati oleh The Nutrition Foundation, dimana Coca cola, Kraft foods, dll adalah anggotanya. Beliau tiba-tiba diasingkan oleh AMA, dan ditolak untuk menjadi pembicara dimana-mana.
      Syukurlah kemudian berbagai buku beliau bisa terbit, dan hari ini kita jadi bisa tahu berbagai temuan-temuannya seputar bahaya makanan modern.

    5. Radiasi pada janin bayi : Sebuah riset dalam skala besar di Swedia menunjukkan bahwa bayi yang terkena gelombang Ultrasonic berlebihan akan cenderung menjadi kidal.
      Dengan makin banyaknya radiasi di sekitar kita, ada kemungkinan radiasi juga berperan menyebabkan autisme. Tapi bagaimana menghindarinya, saya juga kurang tahu. Yang sudah jelas mudah untuk dihindari adalah USG - hindari jika tidak perlu.
    6. Folic Acid : Zat ini biasa diberikan kepada wanita hamil untuk mencegah cacat fisik pada janin. Dan hasilnya memang cukup nyata, tingkat cacat pada janin turun sampai sebesar 30%. Namun di lain pihak, tingkat autisme jadi meningkat.

      Pada saat ini penelitian masih terus berlanjut mengenai ini. Sementara ini, yang mungkin bisa dilakukan oleh para ibu hamil adalah tetap mengkonsumsi folic acid - namun tidak dalam dosis yang sangat besar (normalnya wanita hamil diberikan dosis folic acid 4x lipat dari dosis normal).

      Atau yang lebih baik - perbanyak makan buah-buahan yang kaya dengan folic acid, karena alam bisa mencegah tanpa menyebabkan efek samping :

      Nature is more precise; that’s why all man-made drugs have side effects

    7. Sekolah lebih awal : Agak mengejutkan, namun ada beberapa penelitian yang menunjukkan bahwa menyekolahkan anak lebih awal (pre school) dapat memicu reaksi autisme.

      Diperkirakan, bayi yang memiliki bakat autisme sebetulnya bisa sembuh / membaik dengan berada dalam lingkupan orang tuanya. Namun, karena justru dipindahkan ke lingkungan asing yang berbeda (sekolah playgroup / preschool), maka beberapa anak jadi mengalami shock, dan bakat autismenya menjadi muncul dengan sangat jelas.

      Untuk menghindari ini, para orang tua perlu memiliki kemampuan untuk mendeteksi bakat autisme pada anaknya secara dini. Jika ternyata ada terdeteksi, maka mungkin masa preschool-nya perlu dibimbing secara khusus oleh orang tua sendiri. Hal ini agar ketika masuk masa kanak-kanak maka gejala autismenya sudah hampir lenyap; dan sang anak jadi bisa menikmati masa kecilnya di sekolah dengan bahagia.

    Dan mungkin saja masih ada banyak lagi berbagai potensi penyebab autisme yang akan ditemukan di masa depan, sejalan dengan terus berkembangnya pengetahuan di bidang ini.

    NOTE : Artikel ini hanya bertujuan untuk mengenalkan Anda kepada berbagai potensi penyebab autisme.
    (sumber: http://harry.sufehmi.com/archives/2006-10-17-1302/)

    Selasa, 21 Oktober 2008

    Model Pelayanan Pendidikan Autisme

    Pendidikan untuk anak autistik usia sekolah bisa dilakukan di berbagai penempatan. Berbagai model antara lain:
    1. Kelas transisi
    Kelas ini diperuntukkan bagi anak autistik yang telah diterapi memerlukan layanan khusus termasuk anak autistik yang telah diterapi secara terpadu atau struktur. Kelas transisi sedapat mungkin berada di sekolah reguler, sehingga pada saat tertentu anak dapat bersosialisasi dengan anak lain. Kelas transisi merupakan kelas persiapan dan pengenalan pengajaran dengan acuan kurikulum SD dengan dimodifikasi sesuai kebutuhan anak.
    2. Program Pendidikan Inklusi
    Program ini dilaksanakan oleh sekolah reguler yang sudah siap memberikan layanan bagi anak autistik. Untuk dapat membuka program ini sekolah harus memenuhi persyaratan antara lain:
    a. Guru terkait telah siap menerima anak autistik
    b. Tersedia ruang khusus (resourse room) untuk penanganan individual
    c. Tersedia guru pembimbing khusus dan guru pendamping.
    d. Dalam satu kelas sebaiknya tidak lebih dari 2 (dua) anak autistik.
    e. Dan lain-lain yang dianggap perlu.
    3. Pragram Pendidikan Terpadu
    Program Pendidikan Terpadu dilaksanakan disekolah reguler. Dalam kasus/waktu tertentu, anak-anak autistik dilayani di kelas khusus untuk remedial atau layanan lain yang diperlukan. Keberadaan anak autistik di kelas khusus bisa sebagian waktu atau sepanjang hari tergantung kemampuan anak.
    4. Sekolah Khusus Autis
    Sekolah ini diperuntukkan khusus bagi anak autistik terutama yang tidak memungkinkan dapat mengikuti pendidikan di sekolah reguler. Anak di sekolah ini sangat sulit untuk dapat berkonsentrasi dengan adanya distraksi sekeliling mereka. Pendidikan di sekolah difokuskan pada program fungsional seperti bina diri, bakat, dan minat yang sesuai dengan potensi mereka.
    5. Program Sekolah di Rumah
    Program ini diperuntukkan bagi anak autistik yang tidak mampu mengikuti pendidikan di sekolah khusus karena keterbatasannya. Anak-anak autistik yang non verbal, retardasi mental atau mengalami gangguan serius motorik dan auditorinya dapat mengikuti program sekolah di rumah. Program dilaksanakan di rumah dengan mendatangkan guru pembimbing atau terapis atas kerjasama sekolah, orangtua dan masyarakat.
    6. Panti (griya) Rehabilitasi Autis.
    Anak autistik yang kemampuannya sangat rendah, gangguannya sangat parah dapat mengikuti program di panti (griya) rehabilitasi autistik. Program dipanti rehabilitasi lebih terfokus pada pengembangan:
    (1) Pengenalan diri
    (2) Sensori motor dan persepsi
    (3) Motorik kasar dan halus
    (4) Kemampuan berbahasa dan komunikasi
    (5) Bina diri, kemampuan sosial
    (6) Ketrampilan kerja terbatas sesuai minat, bakat dan potensinya.
    Dari beberapa model layanan pendidikan di atas yang sudah eksis di lapangan adalah Kelas transisi, sekolah khusus autistik dan panti rehabilitasi.



    Sumber: www.ditplb.or.id

    Pendekatan Pembelajaran Anak Autistik

    o Discrete Tial Training (DTT) : Training ini didasarkan pada Teori Lovaas yang mempergunakan pembelajaran perilaku. Dalam pembelajarannya digunakan stimulus respon atau yang dikenal dengan orperand conditioning. Dalam prakteknya guru memberikan stimulus pada anak agar anak memberi respon. Apabila perilaku anak itu baik, guru memberikan reinforcement (penguatan). Sebaliknya perilaku anak yang buruk dihilangkan melalui time out/ hukuman/kata “tidak”
    o Intervensi LEAP (Learning Experience and Alternative Programfor Preschoolers and Parents) menggunakan stimulus respon (sama dengan DTT) tetapi anak langsung berada dalam lingkungan sosial (dengan teman-teman). Anak auitistik belajar berperilaku melalui pengamatan perilaku orang lain.
    o Floor Time merupakan teknik pembelajaran melalui kegiatan intervensi interaktif. Interaksi anak dalam hubungan dan pola keluarga merupakan kondisi penting dalam menstimulasi perkembangan dan pertumbuhan kemampuan anak dari segi kumunikasi, sosial, dan perilaku anak.
    o TEACCH (Treatment and Education for Autistic Childrent and Related Communication Handicaps) merupakan pembelajaran bagi anak dengan memperhatikan seluruh aspek layanan untuk pengembangan komunikasi anak. Pelayanan diprogramkan dari segi diagnosa, terapi/treatment, konsultasi, kerjasama, dan layanan lain yang dibutuhkan baik oleh anak maupun orangtua.


    Sumber: www.ditplb.or.id

    cerita penderita Autisme

    Realita: Terbebas dari Belenggu Autisme..!
    Jakarta, Kamis
    • “I am the child that looks healthy and fine. I was born with ten fingers and toes. But something is different, somewhere in my mind and what it is, nobody knows.”
    Bait awal puisi “The Misunderstood Child” karya Kathy Winters itu dibaca Joshua Ephraim Sianturi dengan suara jelas dan lancar. Seperti anak normal seusianya, sosok bocah lelaki itu tampak sehat-sehat saja. "Anak saya sekarang sudah bagus, tidak menunjukkan ciri-ciri autis lagi, kecuali daya pendengarannya yang masih harus diperbaiki," tutur Debbie R. Sianturi, ibunya.
    Lahir Vakum
    Perempuan cantik berkulit putih ini dengan penuh semangat berkisah tentang usahanya mendampingi putra keduanya untuk keluar dan kungkungan autisme. Kehadiran Joshua memang agak berbeda. Debbie harus menunggu lima tahun untuk hamil lagi, setelah kelahiran putri sulungnya. Bahkan ia sempat menjalani terapi kesuburan dan hampir mengikuti program bayi tabung, namun kemudian bisa mengandung secara alami.
    Selama kehamilan, ada beberapa faktor tidak menguntungkan yang melingkupinya. Ada kondisi yang membuatnya stres berat dan itu berakibat pada kemerosotan kekebalan tubuhnya. Sewaktu tiba kelahiran Joshua, ternyata tidak berlangsung sesuai harapan. Bayi mungil itu lahir melalui proses vakum pada tanggal 25 Agustus 1996, di Sydney, Australia. Kepalanya mengalami trauma. Sayangnya, ia tidak mendapatkan penanganan yang maksimal. Joshua kecil pun lalu sering menangis.
    Semasa bayi ia berkali-kali terkena flu, pilek, dan batuk, dan kerap mendapat obat antibiotika. Suatu hari di saat sedang sakit atau sumeng itulah, di usia satu tahun tiga bulan ia menjalani vaksinasi MMR (Mumps-MeaslesRubella). Sejak saat itu perkembangannya berjalan mundur.
    Kemampuan bicaranya menurun, hingga akhirnya ia tak lagi berkata-kata, Padahal, sebelumnya ia sudah pintar melafalkan “mama, papa," dan beberapa kata lain. Ia menghindari kontak mata, cara jalannya berubah menjadi jinjit. Jingle atau musik di televisi bisa dengan mudah menarik pendengarannya, tapi bila dipanggil ia sama sekali tak mau menengok. Joshua jadi benar-benar cuek dan asyik dengan dunianya sendiri.
    Segera Bertindak
    • Hati orangtua mana yang tidak menderita ketika melihat buah cintanya didera gangguan yang tampaknya tiada henti itu.
    Debbie pun mengaku sangat tenpukul saat dokter mengatakan Joshua yang saat itu berusia satu tahun sepuluh bulan, mengidap autisme.
    "Saya tidak tahu apa-apa, tapi juga tak bisa membiarkan din merasa tertekan berkepanjangan," tutur alumnus FE-UI Jakarta ini.
    Perempuan dari keluarga yang kental dalam menjalankan perintah agama ini lalu tenggelam dalam doa. Ia melakukan introspeksi dan minta pertolongan Tuhan. Dengan segera ia juga bertindak mencari terapi medis dan menggali berbagai informasi menyangkut autisme.
    "Kami sebagai orangtuanya memang sangat aktif karena tanggung jawab terbesar ada di pundak kami," kata istri Batara Sianturi ini.
    Sayangnya, mencani ahli terapis untuk anak autis di masa itu sangat sulit. Kalaupun ada, dokter lebih mengaitkannya dengan masalah kejiwaan, sehingga obat yang diberikan pun berupa obat-obatan psikiatrik. "Padahal, yang dibutuhkan anak autis adalab terapi berupa intervensi dan perawatan medis serta nonmedis yang komprehensif, integratif, dan holistik," tambahnya.
    Namun, tanpa putus asa, Debbie dan suaminya mencari alternatif pengobatan hingga ke luar negeri. Akhirnya sejak tahun 1998 berbagai program intervensi bisa dilakukan untuk Joshua. Mulai dan ABA (applied behavioral analysis) yang dirasa sangat efektif, terapi medis, terapi wicara, terapi okupasi, terapi perilaku, terapi fisik, terapi bermain, termasuk juga kraniosakral dan senam otak.
    "Supaya bagian mulutnya tidak lemah perlu dilakukan terapi wicara. Ia juga dilatih cara meniup supaya tahu memakai otot-otot mulutnya dan bisa memproduksi suara," ujarnya.
    Sehari 50 Kapsul
    • Debbie memang berusaha keras memahami berbagai terapi untuk anaknya. Hanya saja, ia tak bisa menyerahkan proses itu sepenuhnya kepada terapisnya.
    Sebagai ibu, ia ingin terlibat langsung dan melakukan apa saja yang terbaik untuk putranya. Meski melelahkan, butuh stamina fisik dan mental yang super kuat, ia tak gampang menyerah.
    Setiap saat selagi Joshua terjaga ia mesti melakukan interaksi, bermain, dan berbicara, serta.menariknya keluar dan dunia autisnya. Membawanya keluar dari dunianya merupakan perjuangan panjang.
    Sebagai contoh, untuk bisa meniup saja Joshua harus berlatih selama empat bulan. Untuk mengenali warna merah mesti diajari dengan sistem tertentu dan dilakukan terus-menerus.
    "Istilahnya napas saja nggak sempat," ungkap Debbie. Demi anaknya, ia pun rela meninggalkan karier dan menumpahkan seluruh waktu dan perhatiannya bagi Joshua. Di samping berbagai terapi tadi, si kecil juga harus menjalani diet GFCF (Gluten Free & Casein Free). Semua makanan yang mengandung gandum dan susu sapi harus dihindarinya.
    Rupanya obat-obatan antibiotika yang dulu kerap diminumnya telah membunuh bakteri jahat dan bakteri baik yang hidup dalam pencernaannya. Akibatnya, koloni jamur di pencernaan itu merajalela dan merusak ususnya.
    Makanan yang tidak sempurna dicerna usus yang banyak berlubang itu kemudian menimbulkan dampak alergi. Itulah mengapa ia perlu mendapatkan penanganan nutrisi.
    Satu tahun menjalani diet ini tak juga ada kemajuan yang berarti. Pada diri Joshua bahkan tampak tanda-tanda malnutrisi, tubuhnya lemah dan berat badan menurun. Perkembangan yang menggembirakan baru tampak setelah penanganan nutrisi itu dilengkapi dengan konsumsi vitamin dan suplemen.
    Tak kurang dan 50 kapsul suplemen dan vitamin harus dikonsumsi Joshua setiap hari. Sebelum makan, ia mesti minum suplemen enzim pencernaan untuk membantu mencerna makanan, sehingga tidak timbul efek alergi. Hari-harinya mulai penuh dengan jadwal mengonsumsi suplemen dan vitamin.
    Acara minum suplemen ini juga penuh perjuangan dan pada awalnya harus melibatkan banyak orang. "Tentu saja dia berontak, jadi harus dipegangi paling tidak oleh lima orang. Tapi, cara ini saya kira jauh lebib baik danpada menggunakan obat antidepresi yang bisa menyebabkan ketergantungan," ucap ibu tiga anak ini.
    Mampu Berprestasi
    • Lama-kelamaan dia terbiasa dan mau mengonsumsi puluhan suplemen itu tanpa dipaksa. Dan berkat vitamin dan suplemen itu Joshua mencapai kemajuan yang sangat bermakna.
    Tubuhnya lebih sehat dan kemampuan bicaranya yang tadinya sepotong-sepotong kini sudah lancar.
    Berbagai terapi yang komprehensif, integratif, dan holistik tetap dijalani Joshua dengan tekun. Ia pun masih menjalani terapi kelasi dengan suplemen, untuk membuang timbunan logam-logam berat dan dalam tubuhnya.
    Dari pemeriksaan terakhir, secara klinis ia sudah tidak menunjukkan cin-ciri autis, tapi tubuhnya masih memberi respon negatif terhadap vaksin campak. Supaya sistem kekebalan tubuhnya meningkat, dokter menyarankannya untuk menjalani WIG (Intra Venous Immune Globulin).
    "Sementara WIG belum bisa dilakukan karena dia harus menyelesaikan terapi kelasi dulu," ujar sang ibu. Perjuangan Debbie dan suami selama hampir lima tahun telah berbuah kebahagiaan. Kemajuan sekecil apa pun yang terjadi, selalu mereka sambut dengan rasa syukur. Apalagi Joshua kini tak jauh beda dengan anak-anak seusianya.
    Murid kelas I SD PSDK Mandiri itu senang bermain dengan teman-temannya. Ia sudah bisa bercanda, suka berenang, dan main piano, juga ikut kelompok olabraga basket dan softbol di sekolah. Sewaktu masih bergabung dalam kelompok bermain dan TK, ia termasuk siswa berprestasi dalam kumon matematika.
    Seperti anak modern lainnya, Joshua juga senang main komputer. "Tapi, keasyikannya pada komputer dan televisi harus saya batasi, supaya tidak obsesif," ujar Debbie.
    Karena sekolahnya menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar, Ia pun kini mulai tekun mendalami kata-kata asing itu. Pantas saja ia bisa membawakan puisi itu dengan baik hingga kalimat terakhir.
    For I am the child that needs to be loved.
    And accepted and valued too
    I am the child that is misunderstood
    I am different - but look just like you
    Joshua memang lahir dan tumbuh di tengah keluarga yang sangat mengasihinya. Dan apa pun adanya, ia selalu menjadi permata yang berharga dan membanggakan kedua orangtuanya. @ Endang Saptorini


    Sumber: http://www2.kompas.com/kesehatan/news/0308/14/140513.htm

    Cerita Orang tua mengahadapi Autisme

    Dyah Puspita
    Terimalah Kenyataan Jika Anak Mengalami Autisme Autisme, atau biasa disebut ASD (Autistic Spectrum Disorder), merupakan gangguan perkembangan fungsi otak yang kompleks dan sangat bervariasi. Biasanya gangguan perkembangan ini meliputi cara berkomunikasi, berinteraksi sosial, dan kemampuan berimajinasi. Karena itu, cara penanganan anak autistik sedikit berbeda dibandingkan dengan cara penanganan anak pada umumnya, khususnya dalam bidang pendidikan. Kebanyakan anak autistik tidak bisa diterima di sekolah umum. Kalau pun bisa, mereka biasanya sulit menerima materi yang diberikan oleh sekolah reguler.

    Dyah Puspita adalah salah seorang yang sangat konsisten dan persisten di dalam hal autisme. Alumnus Fakultas Psikologi Universitas Indonesia ini secara khusus mendalami bidang autisme setelah mengetahui putera tercintanya, Ikhsan Priatama Sulaiman, didiagnosa mengalami autisme.

    Sejak tahun 2000, Ita – panggilan akrab Dyah - bersama dengan Adriana Ginanjar, mendirikan lembaga Mandiga khusus bagi anak autistik untuk bersekolah. Mandiga bertempat di sebuah rumah di Jalan Mulawarman No 3, Jakarta Selatan. Ini dimaksudkan agar anak-anak yang belajar di sana tidak merasa canggung dan merasa seperti di rumah sendiri. Di halaman tersedia beberapa mainan seperti trampolin dan perosotan. Jadi jika anak-anak sedang tidak ada kelas, mereka boleh bermain dengan bebas.

    Materi yang diajarkan di Mandiga bukanlah ilmu eksak seperti yang biasa diajarkan di sekolah reguler. Anak-anak diberikan pengetahuan yang sekiranya perlu bagi mereka dan yang paling penting adalah mengajarkan sifat mandiri bagi anak-anak agar bisa melakukan sesuatu tanpa bantuan orang lain. Salah satu sistem komunikasi yang dipelajari di Mandiga adalah PECS (Picture Exchange Communication System), yaitu komunikasi melalui gambar. Dengan PECS, anak autistik yang mengalami gangguan komunikasi verbal diajari makna dari sebuah gambar yang bisa berarti benda. Jika anak menginginkan sesuatu, ia tinggal memilih gambar yang sesuai untuk mendapatkan keinginannya. Namun, untuk sampai ke taraf pelajaran itu, dibutuhkan syarat-syarat tertentu yang menyangkut perkembangan pemahaman si anak.

    Berdasarkan pengalamannya selama 17 tahun sebagai ibunda dari Ikhsan, Ita menuangkan kisahnya ke dalam tulisan. Januari lalu, bukunya yang kedua dengan judul Warna Warni Kehidupan, Ketika Anak Autistik Berkembang Remaja telah terbit. Buku yang hanya bisa didapatkan di Mandiga dan Yayasan Autisma Indonesia itu bahkan telah dicetak dua kali karena banyaknya peminat.

    Ita menghabiskan waktu sekitar empat bulan untuk merampungkan naskahnya. Di dalam buku itu tergambar bagaimana ia mendampingi puteranya mengarungi masa remaja ditambah dengan beberapa kisah individu autistik lain di Indonesia. Dalam sela-sela waktu senggangnya, Ita menyempatkan diri untuk melakukan wawancara dengan Tabloid PasarInfo.com mengenai autisme. Ia berbagi banyak hal tentang autisme, pengalamannya menangani anak autistik, dan sistem pengajaran di Mandiga. Berikut adalah petikan wawancaranya:

    Apa perbedaan antara sistem pendidikan di Mandiga dengan sekolah reguler?

    Anak di sekolah reguler tidak diajari cara berkomunikasi, kalau anak autis harus. Anak sekolah reguler tidak perlu diajari cara gosok gigi, masak, dan berbelanja, kalau anak autis harus. Anak-anak ini, saya bantu agar nanti setelah selesai dari Mandiga pada saat berusia 16 tahun, mereka sudah harus bisa mengurus dirinya sendiri dan bisa mengkomunikasikan kemauannya. Kalau intelejensianya bagus, bisa baca tulis hitung. Syukur-syukur bisa menggunakan komputer. Seperti anak saya Ikhsan, dia sudah bisa baca tulis dan hitung, bisa menggunakan Microsoft Word hingga mem-print, sekarang sudah belajar Excel. Terus saya berpikir, kenapa nanti tidak sekalian belajar internet, Power Point, dan semacamnya. Jadi hal-hal seperti itu yang kita ajarkan.

    Berapa usia Ikhsan saat ini?

    Akhir Januari lalu, sudah 17 tahun. Sejak Juli dua tahun yang lalu, sudah tidak di Mandiga lagi. Dia masuk sejak Mandiga pertama kali dibuka, yaitu Februari tahun 2000. Waktu itu dia baru 9 tahun. Setelah 16 tahun, di-cut. Cut off-nya memang di usia segitu.

    Ada batasan umur untuk belajar di Mandiga?

    Betul. Jadi yang belajar di Mandiga itu usia 6 sampai 12 tahun. Setelah itu dievaluasi lagi. Bisa atau tidaknya anak itu mengikuti program lanjutan usia 12 - 16 tahun. Yang boleh ikut program lanjutan adalah anak yang perilakunya tertib, sudah ada komunikasi fungsional meskipun belum bisa bicara, dan secara akademis sudah bisa baca tulis hitung.

    Kalau itu belum tercapai juga, umur 12 tahun akan di-cut. Kita harus bisa menerima fakta, bahwa tidak semua anak autis bisa belajar. Sebagian besar bisa dilatih, tetapi untuk mampu belajar tidak semua bisa. Sebenarnya tidak ada kata terlambat. Cuma memang, semakin usianya besar, semakin susah melatihnya.

    Kenapa usia 12 menjadi penentu?

    Karena setelah usia 12, mereka sudah banyak yang masuk ke masa puber. Kalau ada anak yang memiliki keterbatasan intelektual dan ditambah lagi mereka sudah puber, sementara di Mandiga itu semua gurunya rata-rata perempuan, maka akan sulit untuk melatih mereka. Jadi kami melihat keterbatasan kami untuk memberikan jasa kepada anak-anak dengan keadaan seperti itu.

    Prinsip sekolah ini adalah menampung anak-anak yang tidak diterima di sekolah reguler, plus tidak memasang harga tinggi. Karena tidak memasang harga tinggi, otomatis pemasukan terbatas sehingga kami tidak bisa menambah guru lebih banyak lagi.

    Ada perubahan perilaku saat memasuki masa puber?

    Sangat. Terutama kalau anak itu tidak mampu bernalar dan tidak bisa berkomunikasi, maka anak itu akan lebih sering marah dan mengamuk. Dan yang menyulitkan, karena anak sudah besar, jadi akan susah untuk memegangnya.

    Jadi sebisa mungkin seorang anak autis harus dilatih emosinya dari usia dini?

    Kalau menurut saya, itu sangat tergantung dari orang tuanya. Kalau orang tuanya mau bekerja sama dengan saya supaya anak ini perilakunya jadi lebih baik, biasanya berhasil. Tetapi kalau orangtuanya lepas tangan dan menyerahkan semuanya kepada kita, biasanya anak itu malah tidak akan mendapatkan apa-apa. Karena di sekolah hanya empat jam, sisanya di rumah. Harusnya latihan lebih banyak di rumah. Tetapi kalau di rumah anak itu dilepaskan kepada pembantu dan apa saja diperbolehkan, yang empat jam di sekolah akan menjadi sia-sia. Saya selalu menekankan kepada guru dan orang tua, saya akan berusaha supaya di sekolah tertib. Di luar sekolah tertib atau tidak, tergantung dari orangtua. Jika orangtua mengambil apa yang saya lakukan dan menerapkannya di rumah, maka di mana-mana anak itu akan tertib. Anak saya, Ikhsan, di mana-mana bisa diberi tahu, karena dari kecil sudah dibiasakan disiplin.

    Bentuk disiplinnya seperti apa?

    Biasa sebetulnya. Disiplinnya juga berlaku untuk anak sekolah reguler. Aturan itu harus jelas. Misalnya, kalau tidak boleh melakukan ini, anak itu harus menurut. Kalau ia melanggar peraturan tersebut, maka akan ada konsekuensinya.

    Apa betul ada pengaruh dari makanan tertentu kepada anak autis?

    Tentang makanan, banyak dokter yang mengatakan itu ilmu yang belum terbukti, meskipun di luar negeri sudah banyak penelitiannya. Kalau di sini belum banyak dilakukan peneltian. Mungkin karena autisme itu bukan penyakit dan bukan sesuatu yang mematikan. Jadi prioritas penelitiannya mengantri di belakang flu burung, kanker, dan sebagainya.

    Saya selalu menjelaskan kepada orangtua, karena di luar negeri sekian persen dari penelitian menjelaskan bahwa anak autis metabolismenya terganggu, terutama dari asupan tepung terigu, atau apa pun yang mengandung susu dan gula, biasanya saya minta orang tua untuk eksperimen saja. Susu bisa digantikan dengan kalsium dari tablet kalsium murni, jadi tidak masalah. Misalnya anak saya, dia suka biskuit. Saya gantikan dengan macam-macam makanan kering yang tidak mengandung terigu, misalnya rengginang yang terbuat dari tepung beras. Kan sama saja, kriuk-kriuk juga.

    Saya memperhatikan, kalau makanan anak autis lebih dijaga, maka kemampuan otaknya akan lebih responsif, lebih fokus, dan lebih tek-tok (timbal balik). Kalau anak itu makan makanan yang racun bagi dia, (tepung terigu, gula, susu, MSG, dan sebagainya) anak itu jadinya seperti morfinis. Karena teori dari penelitian tadi, metabolisme anak autis teganggu. Sehingga tidak semua zat makanan bisa tercerna. Sebagian menembus barrier di otak, efeknya sama seperti morfin. Sekarang kalau setiap hari si anak makan makanan yang berbahaya untuknya, anak akan kesulitan untuk nalar dan memahami instruksi. Kita ajak berbicara pun mungkin dia tidak ngeh.

    Sulitkah untuk menjaga makanan mereka?

    Perjuangan awal sulit. Sama seperti misalnya pencandu morfinis yang ingin sembuh. Mereka akan mengalami sakaw. Jadi keinginan untuk sembuhnya itu harus dari diri sendiri. Tuhan maha adil, jika anak-anak ini selama 6 bulan kita jaga makanannya, lalu tiba-tiba bocor sedikit, mereka akan merasa bahwa makanan tertentu tidak bagus untuk mereka. Persoalannya, untuk sampai bertahan selama 6 bulan, biasanya orang tua akan mengalami kesulitan. Sehingga anak itu tidak sampai merasakan efek negatif jika mengkonsumsi makanan tertentu.

    Makanan alternatif untuk mereka seperti apa?

    Negara ini gemah ripah loh jenawi. Jika tidak mau nasi, bisa digantikan dengan bihun, kwetiau, jagung, singkong, kentang, dan lain-lain. Itu saja yang divariasikan dalam makanan sehari-harinya.

    Apakah anak autis lebih tidak bisa mengontrol emosi?

    Kalau masalah emosi bukan bagian dari autisme. Ada tiga masalah utama dari autisme, yaitu gangguan perilaku, gangguan interaksi, dan gangguan komunikasi. Gangguan dalam komunikasi misalnya seperti ini: kamu bisa berbicara, tetapi orang tidak mengerti yang kamu bicarakan. Atau, lebih parah lagi, kamu tidak bisa berbicara. Orang lain tentunya tidak akan mengerti apa yang kamu inginkan. Tidak enak kan rasanya? Cara paling primitif apa? Teriak.

    Orangtua harus mencari penyebab kenapa anak teriak, apakah penyebabnya karena jatuh? Atau karena minta sesuatu? Orang tua harus berpikir, kalau anak itu teriak karena minta sesuatu dan diberikan pasti si anak teriak lagi bila menginginkan sesuatu. Lalu bagaimana supaya anak itu tidak teriak jika minta sesuatu? Ajari cara berkomunikasi yang baik.

    Komunikasi tidak harus selalu dengan berbicara. Orang tua sering tidak siap dengan kenyataan ini. Jika saya memperlihatkan cara Ikhsan berkomunikasi dengan mengetik, menulis, menunjuk, dan SMS kepada orangtua murid, mereka selalu berkomentar: "Ibu sih tidak memaksa anaknya untuk ngomong." Ya memang tidak bisa berbicara, terus mau bagaimana lagi?

    Kita kan tidak tahu apa yang terjadi di dalam pikiran anak-anak itu. Jadi, teriak dan emosinya itu karena apa? Itu yang harus dicari. Tidak semua anak autis seperti itu, tetapi bisa menjadi seperti itu bila dari kecil dibiasakan mendapatkan sesuatu jika ia teriak-teriak.

    Jadi masalah utama yang dialami oleh anak autis adalah karena kesulitan untuk berkomunikasi?

    Betul. Saya harus mendidik orangtuanya mulai dari nol, karena faham seperti itu belum ada. Bahwa komunikasi itu tidak melulu harus melalui bicara. Biasanya hal pertama yang dilakukan oleh orangtua ketika menyadari anaknya tidak bisa berkomunikasi adalah mengajarinya terapi wicara. Sekarang logikanya begini, anak itu diajari untuk bilang ’bola’ tetapi tidak tahu bola itu yang mana. Kamu diajari bahasa Rusia, bahasa Perancis, tetapi tidak mengerti artinya. Akhirnya tidak akan berguna kan?

    Metode komunikasi seperti apa yang diajarkan kepada Ikhsan?

    Ikhsan sejak usia tiga tahun sampai 10 tahun diajari terapi wicara, tetapi perkembangannya tidak begitu bagus. Setelah pemahamannya semakin baik, ia saya ajari PECS. sistem komunikasi dari Amerika. Cara komunikasinya adalah dengan tukar menukar gambar. Dia diajari makna bahwa gambar ini bisa berarti benda. Jadi kalau kamu mau benda yang itu, kamu harus mengambil gambar yang sesuai. Kemudian berkembang lagi. Setelah dia paham tulisan, di gambar itu diberi tulisannya. Kemudian gambar itu menjadi semakin kecil, lalu lama-lama hanya tinggal tulisannya saja.

    Terkadang tulisannya jelek, dan kalau belajar lagi dari awal sulit. Ikhsan bisa menggunakan keyboard. Lalu saya mengembangkan cara lagi, saya belikan dia organizer kecil, saya ajari mengetik, akhirnya berhasil. Setelah belajar mengetik, tahapannya maju lagi, yaitu dengan SMS. Prinsipnya kan sama, cuma dia harus mengenali cara mencari nama dan dikirim ke siapa. Begitu dia merasa dengan cara itu dia bisa mendapatkan sesuatu, dia merasa hal itu ada gunanya. Sekarang, di rumah dia pakai semua cara.

    Semua metode-metode itu diterapkan juga di Mandiga?

    Iya. Prinsip saya sederhana. Semua anak adalah tanggung jawab orangtuanya. Jadi saya selalu kasih ide kepada orang tua. Jika kemampuan verbal anaknya terbatas, saya menawarkan agar anaknya diajari organizer atau PECS. Kalau anak itu bisa menggunakannya di sekolah, tinggal mentransfer ke rumah. Kalau orang tua yang mengerti faedahnya, mereka akan minta informasi kepada kami. Di sini kami sangat terbuka. Kami akan terangkan semua cara-caranya, kalau perlu divideokan.

    Orangtua biasanya menolak karena takut anaknya tidak bisa berbicara. Hasilnya adalah anaknya marah-marah terus. Akhirnya terpaksa anak itu harus keluar dari sekolah karena kami kewalahan. Jadi semuanya itu bergantung dari orangtua. Saya tidak mau ambil tanggung jawab itu dari mereka.

    Jadi perkembangan anak tergantung dari orang tua?

    Kalau bisa menerima anak kita mengalami masalah, kita akan mencari solusi dari masalah itu. Masalahnya, orangtua mau menerima atau tidak? Menerima nggak jika anaknya autis? Menerima nggak jika anak autis itu mempunyai masalah komunikasi seumur hidup? Kalau dia punya masalah komunikasi, bantu dong. Ada banyak solusi lain, mulai dari makanan, edukasi, hingga pekerjaan di masa depan. Kalau dari awalnya tidak mau nerima, ya susah.

    Biodata:
    Nama: Dyah Puspita Asih
    Hobi: baca, travelling, menulis, dan menonton.
    Blog: dyahpuspita.wordpress.com

    Jabatan:
    - Penanggung Jawab Pendidikan Sekolah Mandiga
    - Aktif di Yayasan Autisma Indonesia
    - Aktif bertindak sebagai konsultan pada beberapa tempat terapi dan sekolah di Jakarta, Bandung, Medan, Makasar, dan Pontianak



    Sumber: http://www.pasarinfo.com/infotokoh.php?designby=noOneElse+Fbdesign@urmind.com&levelku=penggunan&myIDentity=&Mylog=close&escape=&fortune=&myedisi=836&myid=46