Selasa, 21 Oktober 2008

Terapi dengan Lumba-Lumba

Lumba-lumba Sembuhkan Autis



TIGA TAHUN lalu, Helen (28) sedih mendapati M. Arief Sofyan, anaknya yang ketika itu berusia 2 tahun, selalu tidak merespon bila dipanggil. Arief selalu menyendiri, tidak mau berbicara, padahal di rumah tidak mau diam alias hiperaktif.
Dari analisis pengobatan medis, diketahui Arief menyandang gangguan autisme. Helen tentu harus memberikan perhatian khusus pada buah hatinya itu. Ibu tiga anak ini memasukkan Arief di sekolah untuk anak dengan kebutuhan khusus, memberikan asupan yang tepat, juga menghadiri berbagai seminar tentang autisme guna menambah pengetahuan dalam mendidik Arief.
Beruntung, lewat Endang Sumaryati, dari Kompartemen Sarjana Fisioterapi 99 dan berpraktik di Klinik Dolphin, Helen mengenal Klinik Dolphin yang berada di Balai Samudera Taman Impian Jaya Ancol (TIJA), Jakarta Utara. Helen menambah terapi bagi Arief, yakni bermain bersama lumba-lumba di Gelanggang Samudera (GSA) TIJA, tanpa meninggalkan terapi-terapi sebelumnya.
“Saya sudah mengajak Arief terapi dengan lumba-lumba ini sebanyak 23 kali. Semula tiap hari sekali selama sepuluh hari berturut-turut, kini seminggu dua kali. Hasilnya seperti yang Anda lihat, Arief sudah mampu berinteraksi dengan pelatih lumba-lumba, terapis, dan orang lain. Ia juga sudah bisa berkonsentrasi penuh,” tutur Helen.
Gangguan Perkembangan
Autisme adalah gangguan perkembangan yang kompleks, disebabkan adanya kerusakan pada otak. Anak mengalami gangguan seputar perkembangan komunikasi, perilaku, kemampuan bersosialisasi, dan lain-lain.
Anak dengan gangguan autis dikenal sebagai pribadi yang tak mampu berkomunikasi dengan orang terdekat sekalipun. Anak autis juga tak mampu mengekspresikan perasaan dan keinginannya, seringkali tertawa atau menangis sendiri.
Meski secara fisik tak bercela, ciri yang menonjol pada anak autis adalah sulit berbicara. Hingga kini, gangguan ini belum diketahui secara pasti penyebabnya. Meski demikian, serangkaian terapi telah banyak dilakukan orang, misalnya metode ABA (applied behavioral analysis), hidrotermal, hidromekanik, dan hidrokemis.
Metode yang kini sedang tren adalah terapi lumba-lumba (dolphin therapy). Menurut Endang, lumba-lumba adalah makhluk ajaib. Hewan ini sudah dikenal manusia selama berabad-abad lamanya.
Bangsa Yunani Kuno misalnya, menamakannya sebagai konstelasi bintang, delphinus, atau lumba-lumba. Bangsa Romawi kuno mempercayainya sebagai simbol cinta sejati, persahabatan, dan harmoni.
Dr. Ken Marten, ilmuwan di Earthtrust, Hawaii, Amerika Serikat, mengatakan bahwa lumba-lumba mampu berenang dengan kecepatan lebih dari 40 km per jam. Hewan ini mampu mengirimkan serangkaian sinyal ultrasonik untuk mendeteksi keberadaan benda di sekitarnya. Lumba-lumba juga senang bermain-main. Otaknya yang lebih besar dari simpanse atau kera, membuatnya tergolong binatang cerdas.
Kegemaran bermain memudahkan hewan menyusui ini akrab dengan manusia. Cerita seputar hubungan manusia dengan lumba-lumba juga pernah difilmkan, misalnya dalam Flipper, yang dibintangi Paul Hogan dan Elijah Wood. Kepandaian lumba-lumba berinteraksi dengan manusia dimanfaatkan oleh banyak ilmuwan sebagai terapi pengobatan. Stimulasi-stimulasi yang dilakukan lumba-lumba pada panca indra memungkinkan dicapainya kesembuhan bagi manusia.
“Suara lumba-lumba membuat rileks dan perasaan menjadi lebih tenang. Sentuhannya merangsang saraf sensoris, pendengaran, penglihatan, dan konsentrasi anak. Setelah bermain dengan lumba-lumba, anak menjadi lebih konsentrasi, sehingga memacu semangat belajar. Klinik Dolphin TIJA saat ini mengkhususkan terapi untuk anak dengan kebutuhan khusus,” ujar Endang, yang juga fisioterapis di RS Islam Jakarta.
Program 10 Hari
Pasien-pasien yang datang, menurut Endang, biasanya sudah keluar masuk sekolah-sekolah autis atau pernah melakukan terapi lain. Terapi lumba-lumba di Klinik Dolpin dilakukan secara bertahap.
Setelah diketahui hasil rekan mediknya, pasien diwajibkan datang sepuluh hari berturut-turut. Hari pertama hingga ketiga diisi dengan pengenalan situasi dan lumba-lumbanya itu sendiri. Pasien belum diizinkan untuk turun ke kolam. “Mereka hanya boleh bermain air dan sesekali memegang tubuh lumba-lumba dari pinggir kolam,” paparnya.
Pada hari keempat hingga kesepuluh, pasien diajak bermain dengan seekor lumba-lumba, melibatkan seorang terapis dan pelatih hewan mamalia ini. Lumba-lumba GSA yang dijadikan media terapi jumlahnya tiga ekor, namanya Mia, Pauline, dan Rina. Permainan yang dilakukan antara lain berenang bersama, duduk di punggung, atau memberi ikan kecil kepada lumba-lumba.
Setelah sepuluh hari terapi, perkembangan pasien dievaluasi. Dari hasil itulah, bisa diketahui rencana terapi ke depan, sekaligus jenisnya atau interaksi lanjutan. Dari pengalaman Endang, program pertama selama sepuluh hari tersebut memberikan hasil positif bagi pasien-pasiennya. Banyak anak autis yang mampu berkonsentrasi dan bisa diajak bicara.
Banyak penderita gangguan autis merasakan manfaat terapi lumba-lumba di Klinik Dolphin yang bekerja sama dengan Gelanggang Samudera Ancol ini. Tak kurang pasien dari Bandung, Tegal, Semarang, dan Jayapura pernah mendapat manfaatnya.
Endang tak mau menyebutkan harga terapi ini. Ia hanya menganjurkan calon pasien untuk mengikuti sistem keanggotaan, sehingga harganya relatif murah. Sebab, sudah termasuk uang pangkal, pendaftaran, dan potongan tiket tanda masuk ke TIJA dan GSA.
Kenapa Lumba-Lumba?
Di Amerika Serikat, penyembuhan menggunakan lumba-lumba untuk anak-anak dengan kebutuhan khusus, sudah tidak asing lagi. Kata Dr. Erwin Kusuma SpKJ, dari Klinik Prorevital, Jakarta, sejak tahun 1978, metode penyembuhan dengan hewan ini sudah dikembangkan DR. David Nathanson, Ph.D, psikolog yang telah menggeluti dunia lumba-lumba lebih dari 30 tahun.
DR. Nathanson mengamati dan meneliti ketika manusia dan lumba-lumba saling berinteraksi. Psikolog yang membuka terapi di Ocean World, Fort Lauderdale, Florida, Amerika Serikat itu mulanya menstimulasi panca indra anak-anak yang mengalami down syndrome atau keterbelakangan mental degan mengajak mereka bermain dan berenang bersama lumba-lumba.
Hasilnya, anak-anak tersebut mampu menerima stimulasi dan mulai memberi perhatian. Dalam perkembangannya, lumba-lumba tidak hanya diperuntukkan bagi anak-anak down syndrome atau autis saja, juga untuk orang dewasa yang mengalami gangguan mental dan sensor saraf indra.
Kenapa lumba-lumba? Lumba-lumba bisa dijadikan sarana terapi karena mampu berinteraksi dengan manusia. Hasil penelitian Vilchis Quiroz dari Medical Director Aragon Aquarium, Mexico City, Meksiko, ketika berinteraksi dengan lumba-lumba, hormon endorfin pada manusia meningkat. Hal ini membuat terbentuknya keseimbangan antara otak kiri dan kanan. Gelombang ultrasonik, hasil stimulasi suara-suara atau sonar yang dikeluarkan lumba-lumba, mampu diterima sempurna oleh manusia.


Sumber: banjarmasinpost.co.id

Tidak ada komentar: